Selasa, 21 Mei 2013

Megapolitan Minim Perencanaan Transportasi





Oleh: Leonardus Meta Noven,
 Anjar Lexana


Kemacetan di Jakarta sudah hampir menyentuh titik nadir. Mungkinkah Mass Rapid Transit (MRT) menjadi satu-satunya harapan terakhir kita.

“Tiada hari tanpa macet” adalah semboyan Jakarta yang belum tergoyahkan. Menurut penelitian The Study in Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek (SITRAMP). Dalam setahun, mereka memperkirakan pertumbuhan kendaraan di Jakarta mencapai 9%-11%, sedangkan pembangunan ruas jalan hanya 0,01%. Setiap hari, ada penambahan 1.500 unit kendaraan di Jakarta, yang sebagian besar adalah sepeda motor. Pada akhir tahun 2010, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jakarta mencatat bahwa saat jam sibuk, jalanan ibukota harus menanggung beban 4.500 kendaraan per jam, sedangkan kapasitas normalnya hanya 3.100 per jam. Akibatnya, kendaraan itu harus merayap 15 kilometer per jam. 

Apa yang menjadi akar penyebab kemacetan? Danang Parikesit,  Gurubesar Transportasi Universitas Gadjah Mada, sekaligus Ketua Masyarakat Transportasi Jakarta (MTI), berpendapat ada beberapa kombinasi penyebab.

Pertama, penduduk Jabodetabek memiliki mobilitas dan jumlah perjalanan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah yang lain. Kedua, pemekaran kota yang tidak terkendali dan terencana baik menyebabkan perjalanan yang dilakukan semakin panjang. Jumlah hunian di Jakarta sangat terbatas dan mahal, menyebabkan masyarakat lebih memilih tinggal di kawasan sekitar Jakarta, yakni Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. “Bila dibandingkan 10 tahun lalu yang perjalanan rata-ratanya hanya 20 km-30 km/perjalanan, sekarang telah mencapai 40 km-60 km/perjalanan,” cetus Danang.  

Parahnya lagi, Danang menjelaskan bahwa masyarakat tidak mempunyai pilihan transportasi umum yang layak sehingga mereka memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil atau sepeda motor.  “Pengguna angkutan umum berkurang drastis dari 38% di tahun 2002 menjadi 14% di tahun 2011,” ungkap Danang. Di lain pihak, pengaturan lalulintas dan penambahan infrastruktur yang kurang terencana, tak mampu mengakomodasi para pengendara.

Di tengah keputusasaan menghadapi kemacetan, Pemprov DKI Jakarta menggelar sebuah proyek Mass Rapid Transit (MRT) yang cukup ambisius. Proses pengerjaannya dipastikan mulai pertengahan tahun ini. MRT, merupakan moda transportasi cepat bebas hambatan berbasis rel dengan kapasitas yang besar.

Tentu saja, sebagian besar warga Jabodetabek masih gamang dengan proyek monorel yang belakangan mangkrak itu. Berkaca dari kegagalan monorel, seharusnya Pemprov DKI Jakarta lebih hati-hati dalam menangani proyek MRT ini. Benar, proyek MRT ini tak berkaitan dengan proyek monorel tadi. Pencarian dana pun dilakukan dengan lebih teliti. Pilihan Pemprov DKI Jakarta jatuh ke tangan Japan International Cooperation Agency (JICA) yang siap memberikan pinjaman lunak dengan jangka waktu 30 tahun.

JICA berkomitmen akan memberikan dana sebesar US$ 1,6 miliar untuk tahap pertama proyek ini, atau 85% dari total biaya yang dibutuhkan. Rachmadi Wahab, Direktur Teknik PT MRT Jakarta mengatakan bahwa pinjaman lunak ini perlu dibayar dengan bunga 0,2%, dengan syarat minimal 30% komponen berasal dari Jepang. “Adapun sisa 15% dari biaya proyek ini, kita sendiri yang mengusahakannya,” kata Rachmadi.

PT MRT Jakarta berencana akan membangun dua koridor MRT yaitu koridor selatan ke utara dan koridor dari timur ke barat. Saat ini, pengerjaan proyek akan fokus pada pembangunan koridor selatan-utara dari Lebak Bulus sampai Kampung Bandan. PT MRT Jakarta membagi koridor ini menjadi dua tahap.

Tahap pertama dari Lebak Bulus sampai Bundaran HI yang yang ditargetkan siap beroperasi November 2016. Panjang lintasan di tahap pertama ini 15.7 Kilometer dengan lintasan layang/ di atas permukaan tanah dari Lebak Bulus sampai Sisingamangaraja. Sedangkan dari Bundaran Senayan sampai Bundaran HI, lintasan dan stasiun akan berada di bawah tanah. Tahap kedua yaitu dari Bundaran HI sampai Kampung Bandan akan dibangun di bawah tanah dengan panjang lintasan 8.1 Kilometer dengan target siap beroperasi tahun 2018.

Proyek MRT digadang-gadang akan menjadi pilihan terbaik sebagai solusi kemacetan Jakarta. Pergantian kereta dijanjikan berjalan selama 3 menit, toleransi telambat 20 detik, dan berhenti di stasiun 40 detik.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dengan optimis mengatakan MRT mempunyai daya angkut sekitar 412.000 penumpang per hari.  “Sangat tidak bijak menyelesaikan masalah transportasi ini dengan moda transportasi yang tidak tepat, dan karena desakan kebutuhan yang kuat, pemerintah DKI menyusun kajian khusus tentang MRT ini,” kata Foke, sapaan akrab Fauzi Bowo saat Pencanangan Pembangunan MRT.

Foke meyakinkan MRT akan didukung dengan perubahan tata ruang, yaitu dengan menciptakan ruang publik baru di bawah tanah. “Kita akan menghubungkan ruang satu dengan ruang lain bagi pejalan kaki dan juga bagi pengendara sepeda,” imbuhnya.

Gubernur yang mulai memimpin Jakarta sejak tahun 2009 ini juga menegaskan bahwa biaya untuk membangun proyek ini sangat mahal sehingga tak bisa sepenuhnya dipercayakan pada swasta. Maka, pemerintah daerah mengambil tanggung jawab dari tahap engineering service, konstruksi, operasi, hingga perawatan. Tanggung jawab ini nanti akan dipercayakan kepada BUMD yang 99,5% sahamnya dikuasai oleh Pemprov DKI, dan 0,5% oleh PD Pasar Jaya.

Guna mendukung efektivitas penggunaan MRT ini nantinya, Pemprov DKI akan menyiapkan peraturan mengenai adanya batasan penggunaan kendaraan pribadi yang lintasannya akan dilewati oleh jalur MRT ini.  “Pembatasan kendaraan ini akan dilakukan dengan Electronic Road Pricing (ERP), peraturan pemerintahnya saat ini sedang diproses,” imbuh Foke.

Salah satu kendala dalam proses pembangunan MRT ini adalah pembebasan lahan. Namun, Sutanto Soehodo, Komisaris Utama PT. MRT Jakarta, sekaligus Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Perdagangan dan Transportasi mengatakan itu bukan kendala yang besar karena sebenarnya PT MRT Jakarta tidak melakukan pembebasan lahan yang luas di tanah  milik masyarakat. “Kami lebih banyak melakukan pembebasan lahan di tanah milik pemerintah,” kata Sutanto.

Masyarakat  wilayah Fatmawati, daerah yang akan dilewati oleh MRT, termasuk wilayah yang kerap melakukan protes paling keras. Seorang penduduk Fatmawati  yang enggan disebut namanya mengatakan, “Pembangunan MRT dengan menggunakan konstruksi layang tentu akan mengganggu lahan dan aktivitas kami.” 

 “Pembebasan lahan di Lebak Bulus paling besar karena kami akan membangun depo di situ,” ungkap Rachmadi, namun sebagian besar lahannya adalah milik pemerintah – Rachmadi bilang kawasan ini memberikan kontribusi lahan sampai 90% untuk tahap pertama. Bahkan, pemerintah provinsi siap memindahkan Stadion Lebak Bulus.  Menurut pihak pemprov, daerah Fatmawati sampai Blok M lebih banyak dilewati oleh koridor yang tidak membutuhkan pembebasan lahan cukup besar, karena jalur MRT dibangun di bagian tengah jalan.

Untuk mengatasi hal ini, Danang menyarankan agar masyarakat dekat koridor MRT dilibatkan sejak awal, atau diajak berdialog. Selain itu, pemerintah daerah juga harus mencermati manajemen struktur proyek dan pembiayaan. Ia menyarankan agar MRT diberi wewenang lebih besar untuk mengelola properti sekitar stasiun, sehingga mereka mengantungi pendapatan dan bisa menekan tarif.

Rachmadi menjelaskan, pembangunan MRT merupakan perpaduan tata ruang dengan sistem transportasi. Pemprov DKI dan PT MRT Jakarta akan mempersiapkan tata ruang dengan kapasitas besar, supaya  orang yang keluar dan masuk ke stasiun tidak bertumpuk dan terganggu perjalanan selanjutnya. “Kami harus menyiapkan konektivitas MRT dengan angkutan-angkutan umum yang lain,” kata Rachmadi.

Hal senada juga dikatakan oleh Danang. Menurutnya, keunggulan MRT sebenarnya bukan pada kapasitas angkut, melainkan kemampuannya dalam mengubah struktur kota dan struktur perjalanan – dari berorientasi pribadi menjadi transportasi umum. “Pengembangan stasiun MRT sebagai kawasan komersial juga akan mendorong terjadinya  Transit Oriented Development (TOD) dengan bertambahnya pembangunan properti di sekitar kawasan stasiun,” cetus Danang.

Keberhasilan moda transportasi impian ini sangat bergantung pada komitmen Pemprov DKI, Pemerintah Pusat, dan PT. MRT Jakarta untuk menyelesaikan proyek ini dengan baik. “Kami optimis bisa menyelesaikan proyek MRT Koridor Selatan-Utara 2018 dan koridor Timur-Barat 2027 nanti,” pungkas Rachmadi.














Dari Busway sampai (rencana ) Monorel

Sebenarnya, pemerintah kota Jakarta bukan diam saja melihat kemacetan yang menggila. Mereka menerapkan banyak solusi yang diharapkan bisa mengatasi kemacetan. Sayangnya, mereka lebih memilih solusi yang bersifat inkremental alih-alih menyiapkan antisipasi yang fundamental. Alhasil, tak semua program solusi pemerintah terealisasi sesuai dengan rencana.

Contohnya, pemerintah lebih suka melakukan pelebaran dan  penambahan ruas jalan. Padahal, penambahan jalan bukan solusi yang pas karena akan mendorong peningkatan kendaraan pribadi. Bahkan, pertumbuhan jalan pasti akan terkejar oleh penambahan kendaraan bermotor yang sangat masif. Djoko Setijowarno, Pengamat Transportasi Universitas Katolik Soegijapranoto mengatakan bahwa penambahan ruas jalan hanya akan memindahkan kemacetan saja. “Itu bukan solusi,” tutur Djoko.

Selain itu, usaha pembangunan dan pengadaan transportasi umum pun terkesan setengah-setengah. Ketika Sutiyoso masih menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, ia menggagas busway Transjakarta yang beroperasi tahun 2005. Maka, pemerintah memangkas lebar jalan di beberapa ruas untuk jalur khusus busway.

Pemerintah kota memutuskan membangun busway sebagai hasil studi banding pemerintah ke Bogota, Columbia, yang juga menerapkan sistem transportasi busway. Ada beberapa hal yang meleset dari perhitungan Pemprov DKI Jakarta.  Sistem transportasi busway di Bogota sangat ideal sebab jumlah penduduk di sana hanya 20% dari penduduk di Jakarta.  Busway di Bogota juga menggunakan bus gandeng serta menyediakan ruas bagi bus yang lebih cepat untuk menyalip.

Adapun Transjakarta sebagian besar menggunakan single bus sehingga daya angkutnya tidak besar. Hal ini terbukti ketika busway sangat kewalahan menghadapi lonjakan penumpang saat rush hour. Bahkan tak jarang penumpang harus menunggu bus di halte lebih dari satu jam karena Transjakarta juga terjebak macet. Pembangunan busway pun tersendat, dari target 15 koridor, saat ini baru 11 koridor yang beroperasi.

Untuk transportasi greater Jakarta, sebenarnya sudah ada jalur KRL Jabodetabek.  Namun, kereta yang berkapasitas 500.000 penumpang sehari, masih kurang. KRL memang harus meningkatkan armadanya dan penambahan lintasan jalur ganda (double track). Dulu, pemerintah sempat merencanakan pembangunan jalur ganda KRL dari Manggarai sampai Cikarang melalui Bekasi untuk mengantisipasi laju kereta api dari luar kota yang masuk ke Stasiun Gambir.

Danang Parikesit, Ketua Masyarakat Transportasi Jakarta (MTI), menjelaskan kapasitas kedua sistem transportasi tersebut tersebut 1,5 juta penumpang per hari. Apabila pemerintah mampu menuntaskan 15 koridor busway dan melakukan pelebaran pelintasan KRL mungkin hanya mampu mendongkrak kapasitas menjadi 3 juta per hari. Padahal total jumlah perjalanan ada 40 juta penumpang per hari. Maka, KRL dan Busway saja tidak cukup. Kedua moda transportasi umum tersebut penting apabila dikaitkan dengan restrukturisasi transportasi bus dan angkutan umum yang ada di wilayah Jabodetabek.

Pendapat serupa juga dilontarkan oleh Djoko. Ia berpendapat 15 koridor Trans Jakarta belum mampu mengatasi kemacetan karena belum ada feeder yang mencukupi dan menjangkau seluruh wilayah masyarakat. “Shift KRL pun terlalu lama, idealnya seperti di Kuala Lumpur, kereta lewat 4 menit-6 menit sekali,” kata Djoko.

Nah, solusi yang sampai kini meninggalkan warisan berupa pilar-pilar raksasa di beberapa ruas jalan Jakarta adalah proyek monorel. Proyek ini mulai mencuat tahun 2004 melalui supervisi PT. Jakarta Monorail  dan dibangun di atas permukaan tanah sebanyak dua jalur – Semanggi sampai Karet serta Kampung Melayu – Taman Anggrek. Monorel ini termasuk kategori kapasitas rendah atau menengah direncanakan mengangkut 15.000 penumpang per jam.

Menurut sumber Fortune Indonesia yang tahu soal Monorel, awalnya proyek monorel ini ditujukan untuk Mtrans, perusahaan transportasi Malaysia yang sama sekali tidak memberikan kejelasan setelah MoU. Sampai akhirnya proyek monorel – senilai US$430 juta - jatuh ke tangan konsorsium Omnico Singapura yang belakangan juga batal karena ragu-ragu. Pasalnya, pemprov tidak bisa memberikan jaminan untuk kelangsungan proyek.
Gagal dengan Singapura, tak patah arang, narasumber tersebut menjelaskan proyek monorel akan mendapatkan investor baru dari Dubai yang janjinya pun tak ditepati. Masalah finansial ini membuat PT. Jakarta Monorail pun meninggalkan proyek ini di tahun 2008. Dan Oktober 2011 lalu, secara resmi, Fauzi Bowo, Gubernur Provinsi DKI Jakarta saat ini menyatakan proyek monorel ini dibatalkan. BPKP menaksir kerugian dari proyek ini sebesar Rp 204 miliar.

Kini, Pemprov berkonsentrasi menggarap MRT. Kita tinggal menunggu, apakah MRT sekedar mimpi atau benar-benar jadi solusi. ***


Tidak ada komentar: