Oleh: Leonardus Meta Noven,
Anjar Lexana
Anjar Lexana
Kemacetan di Jakarta sudah hampir menyentuh titik nadir. Mungkinkah
Mass Rapid Transit (MRT) menjadi satu-satunya harapan terakhir kita.
“Tiada hari tanpa macet” adalah
semboyan Jakarta yang belum tergoyahkan. Menurut penelitian The Study in Integrated Transportation
Master Plan for Jabodetabek (SITRAMP). Dalam setahun, mereka memperkirakan
pertumbuhan kendaraan di Jakarta mencapai 9%-11%, sedangkan pembangunan ruas jalan
hanya 0,01%. Setiap hari, ada penambahan 1.500 unit kendaraan di Jakarta, yang
sebagian besar adalah sepeda motor. Pada akhir tahun 2010, Badan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Daerah Jakarta mencatat bahwa saat jam sibuk, jalanan ibukota
harus menanggung beban 4.500 kendaraan per jam, sedangkan kapasitas normalnya
hanya 3.100 per jam. Akibatnya, kendaraan itu harus merayap 15 kilometer per
jam.
Apa yang menjadi akar penyebab
kemacetan? Danang Parikesit, Gurubesar
Transportasi Universitas Gadjah Mada, sekaligus Ketua Masyarakat Transportasi
Jakarta (MTI), berpendapat ada beberapa kombinasi penyebab.
Pertama,
penduduk Jabodetabek memiliki mobilitas dan jumlah perjalanan yang lebih tinggi
dibandingkan wilayah yang lain. Kedua,
pemekaran kota yang tidak terkendali dan terencana baik menyebabkan perjalanan
yang dilakukan semakin panjang. Jumlah hunian di Jakarta sangat terbatas dan
mahal, menyebabkan masyarakat lebih memilih tinggal di kawasan sekitar Jakarta,
yakni Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. “Bila dibandingkan 10 tahun lalu
yang perjalanan rata-ratanya hanya 20 km-30 km/perjalanan, sekarang telah
mencapai 40 km-60 km/perjalanan,” cetus Danang.
Parahnya lagi, Danang menjelaskan bahwa
masyarakat tidak mempunyai pilihan transportasi umum yang layak sehingga mereka
memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil atau sepeda motor. “Pengguna angkutan umum berkurang drastis dari
38% di tahun 2002 menjadi 14% di tahun 2011,” ungkap Danang. Di lain pihak,
pengaturan lalulintas dan penambahan infrastruktur yang kurang terencana, tak
mampu mengakomodasi para pengendara.
Di tengah keputusasaan menghadapi
kemacetan, Pemprov DKI Jakarta menggelar sebuah proyek Mass Rapid Transit (MRT)
yang cukup ambisius. Proses pengerjaannya dipastikan mulai pertengahan tahun
ini. MRT, merupakan moda transportasi cepat bebas hambatan berbasis rel dengan
kapasitas yang besar.
Tentu saja, sebagian besar warga
Jabodetabek masih gamang dengan proyek monorel yang belakangan mangkrak itu. Berkaca
dari kegagalan monorel, seharusnya Pemprov DKI Jakarta lebih hati-hati dalam
menangani proyek MRT ini. Benar, proyek MRT ini tak berkaitan dengan proyek
monorel tadi. Pencarian dana pun dilakukan dengan lebih teliti. Pilihan Pemprov
DKI Jakarta jatuh ke tangan Japan International Cooperation Agency (JICA) yang
siap memberikan pinjaman lunak dengan jangka waktu 30 tahun.
JICA berkomitmen akan memberikan dana
sebesar US$ 1,6 miliar untuk tahap pertama proyek ini, atau 85% dari total
biaya yang dibutuhkan. Rachmadi Wahab, Direktur Teknik PT MRT Jakarta
mengatakan bahwa pinjaman lunak ini perlu dibayar dengan bunga 0,2%, dengan
syarat minimal 30% komponen berasal dari Jepang. “Adapun sisa 15% dari biaya
proyek ini, kita sendiri yang mengusahakannya,” kata Rachmadi.
PT MRT Jakarta berencana akan membangun
dua koridor MRT yaitu koridor selatan ke utara dan koridor dari timur ke barat.
Saat ini, pengerjaan proyek akan fokus pada pembangunan koridor selatan-utara
dari Lebak Bulus sampai Kampung Bandan. PT MRT Jakarta membagi koridor ini
menjadi dua tahap.
Tahap pertama dari Lebak Bulus sampai
Bundaran HI yang yang ditargetkan siap beroperasi November 2016. Panjang
lintasan di tahap pertama ini 15.7 Kilometer dengan lintasan layang/ di atas
permukaan tanah dari Lebak Bulus sampai Sisingamangaraja. Sedangkan dari
Bundaran Senayan sampai Bundaran HI, lintasan dan stasiun akan berada di bawah
tanah. Tahap kedua yaitu dari Bundaran HI sampai Kampung Bandan akan dibangun
di bawah tanah dengan panjang lintasan 8.1 Kilometer dengan target siap
beroperasi tahun 2018.
Proyek MRT digadang-gadang akan menjadi
pilihan terbaik sebagai solusi kemacetan Jakarta. Pergantian kereta dijanjikan
berjalan selama 3 menit, toleransi telambat 20 detik, dan berhenti di stasiun
40 detik.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dengan
optimis mengatakan MRT mempunyai daya angkut sekitar 412.000 penumpang per
hari. “Sangat tidak bijak menyelesaikan
masalah transportasi ini dengan moda transportasi yang tidak tepat, dan karena
desakan kebutuhan yang kuat, pemerintah DKI menyusun kajian khusus tentang MRT
ini,” kata Foke, sapaan akrab Fauzi Bowo saat Pencanangan Pembangunan MRT.
Foke meyakinkan MRT akan didukung
dengan perubahan tata ruang, yaitu dengan menciptakan ruang publik baru di
bawah tanah. “Kita akan menghubungkan ruang satu dengan ruang lain bagi pejalan
kaki dan juga bagi pengendara sepeda,” imbuhnya.
Gubernur yang mulai memimpin Jakarta
sejak tahun 2009 ini juga menegaskan bahwa biaya untuk membangun proyek ini
sangat mahal sehingga tak bisa sepenuhnya dipercayakan pada swasta. Maka,
pemerintah daerah mengambil tanggung jawab dari tahap engineering service, konstruksi, operasi, hingga perawatan.
Tanggung jawab ini nanti akan dipercayakan kepada BUMD yang 99,5% sahamnya dikuasai
oleh Pemprov DKI, dan 0,5% oleh PD Pasar Jaya.
Guna mendukung efektivitas penggunaan
MRT ini nantinya, Pemprov DKI akan menyiapkan peraturan mengenai adanya batasan
penggunaan kendaraan pribadi yang lintasannya akan dilewati oleh jalur MRT
ini. “Pembatasan kendaraan ini akan
dilakukan dengan Electronic Road Pricing (ERP), peraturan pemerintahnya saat
ini sedang diproses,” imbuh Foke.
Salah satu kendala dalam proses
pembangunan MRT ini adalah pembebasan lahan. Namun, Sutanto Soehodo, Komisaris
Utama PT. MRT Jakarta, sekaligus Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Perdagangan
dan Transportasi mengatakan itu bukan kendala yang besar karena sebenarnya PT
MRT Jakarta tidak melakukan pembebasan lahan yang luas di tanah milik masyarakat. “Kami lebih banyak
melakukan pembebasan lahan di tanah milik pemerintah,” kata Sutanto.
Masyarakat wilayah Fatmawati, daerah yang akan dilewati
oleh MRT, termasuk wilayah yang kerap melakukan protes paling keras. Seorang
penduduk Fatmawati yang enggan disebut
namanya mengatakan, “Pembangunan MRT dengan menggunakan konstruksi layang tentu
akan mengganggu lahan dan aktivitas kami.”
“Pembebasan lahan di Lebak Bulus paling besar
karena kami akan membangun depo di situ,” ungkap Rachmadi, namun sebagian besar
lahannya adalah milik pemerintah – Rachmadi bilang kawasan ini memberikan
kontribusi lahan sampai 90% untuk tahap pertama. Bahkan, pemerintah provinsi
siap memindahkan Stadion Lebak Bulus. Menurut
pihak pemprov, daerah Fatmawati sampai Blok M lebih banyak dilewati oleh
koridor yang tidak membutuhkan pembebasan lahan cukup besar, karena jalur MRT
dibangun di bagian tengah jalan.
Untuk mengatasi hal ini, Danang
menyarankan agar masyarakat dekat koridor MRT dilibatkan sejak awal, atau
diajak berdialog. Selain itu, pemerintah daerah juga harus mencermati manajemen
struktur proyek dan pembiayaan. Ia menyarankan agar MRT diberi wewenang lebih
besar untuk mengelola properti sekitar stasiun, sehingga mereka mengantungi
pendapatan dan bisa menekan tarif.
Rachmadi menjelaskan, pembangunan MRT
merupakan perpaduan tata ruang dengan sistem transportasi. Pemprov DKI dan PT
MRT Jakarta akan mempersiapkan tata ruang dengan kapasitas besar, supaya orang yang keluar dan masuk ke stasiun tidak
bertumpuk dan terganggu perjalanan selanjutnya. “Kami harus menyiapkan
konektivitas MRT dengan angkutan-angkutan umum yang lain,” kata Rachmadi.
Hal senada juga dikatakan oleh Danang.
Menurutnya, keunggulan MRT sebenarnya bukan pada kapasitas angkut, melainkan
kemampuannya dalam mengubah struktur kota dan struktur perjalanan – dari
berorientasi pribadi menjadi transportasi umum. “Pengembangan stasiun MRT
sebagai kawasan komersial juga akan mendorong terjadinya Transit
Oriented Development (TOD) dengan bertambahnya pembangunan properti di
sekitar kawasan stasiun,” cetus Danang.
Keberhasilan moda transportasi impian
ini sangat bergantung pada komitmen Pemprov DKI, Pemerintah Pusat, dan PT. MRT
Jakarta untuk menyelesaikan proyek ini dengan baik. “Kami optimis bisa
menyelesaikan proyek MRT Koridor Selatan-Utara 2018 dan koridor Timur-Barat
2027 nanti,” pungkas Rachmadi.
Dari Busway sampai (rencana ) Monorel
Sebenarnya, pemerintah kota Jakarta
bukan diam saja melihat kemacetan yang menggila. Mereka menerapkan banyak
solusi yang diharapkan bisa mengatasi kemacetan. Sayangnya, mereka lebih
memilih solusi yang bersifat inkremental alih-alih menyiapkan antisipasi yang
fundamental. Alhasil, tak semua program solusi pemerintah terealisasi sesuai
dengan rencana.
Contohnya, pemerintah lebih suka
melakukan pelebaran dan penambahan ruas
jalan. Padahal, penambahan jalan bukan solusi yang pas karena akan mendorong
peningkatan kendaraan pribadi. Bahkan, pertumbuhan jalan pasti akan terkejar
oleh penambahan kendaraan bermotor yang sangat masif. Djoko Setijowarno,
Pengamat Transportasi Universitas Katolik Soegijapranoto mengatakan bahwa
penambahan ruas jalan hanya akan memindahkan kemacetan saja. “Itu bukan
solusi,” tutur Djoko.
Selain itu, usaha pembangunan dan
pengadaan transportasi umum pun terkesan setengah-setengah. Ketika Sutiyoso masih
menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, ia menggagas busway Transjakarta yang
beroperasi tahun 2005. Maka, pemerintah memangkas lebar jalan di beberapa ruas
untuk jalur khusus busway.
Pemerintah kota memutuskan membangun
busway sebagai hasil studi banding pemerintah ke Bogota, Columbia, yang juga
menerapkan sistem transportasi busway. Ada beberapa hal yang meleset dari
perhitungan Pemprov DKI Jakarta. Sistem
transportasi busway di Bogota sangat ideal sebab jumlah penduduk di sana hanya
20% dari penduduk di Jakarta. Busway di
Bogota juga menggunakan bus gandeng serta menyediakan ruas bagi bus yang lebih
cepat untuk menyalip.
Adapun Transjakarta sebagian besar
menggunakan single bus sehingga daya
angkutnya tidak besar. Hal ini terbukti ketika busway sangat kewalahan
menghadapi lonjakan penumpang saat rush
hour. Bahkan tak jarang penumpang harus menunggu bus di halte lebih dari
satu jam karena Transjakarta juga terjebak macet. Pembangunan busway pun
tersendat, dari target 15 koridor, saat ini baru 11 koridor yang beroperasi.
Untuk transportasi greater Jakarta,
sebenarnya sudah ada jalur KRL Jabodetabek.
Namun, kereta yang berkapasitas 500.000 penumpang sehari, masih kurang. KRL
memang harus meningkatkan armadanya dan penambahan lintasan jalur ganda (double track). Dulu, pemerintah sempat
merencanakan pembangunan jalur ganda KRL dari Manggarai sampai Cikarang melalui
Bekasi untuk mengantisipasi laju kereta api dari luar kota yang masuk ke Stasiun
Gambir.
Danang Parikesit, Ketua Masyarakat
Transportasi Jakarta (MTI), menjelaskan kapasitas kedua sistem transportasi
tersebut tersebut 1,5 juta penumpang per hari. Apabila pemerintah mampu
menuntaskan 15 koridor busway dan melakukan pelebaran pelintasan KRL mungkin
hanya mampu mendongkrak kapasitas menjadi 3 juta per hari. Padahal total jumlah
perjalanan ada 40 juta penumpang per hari. Maka, KRL dan Busway saja tidak
cukup. Kedua moda transportasi umum tersebut penting apabila dikaitkan dengan
restrukturisasi transportasi bus dan angkutan umum yang ada di wilayah
Jabodetabek.
Pendapat serupa juga dilontarkan oleh
Djoko. Ia berpendapat 15 koridor Trans Jakarta belum mampu mengatasi kemacetan
karena belum ada feeder yang
mencukupi dan menjangkau seluruh wilayah masyarakat. “Shift KRL pun terlalu lama,
idealnya seperti di Kuala Lumpur, kereta lewat 4 menit-6 menit sekali,” kata
Djoko.
Nah, solusi yang sampai kini
meninggalkan warisan berupa pilar-pilar raksasa di beberapa ruas jalan Jakarta
adalah proyek monorel. Proyek ini mulai mencuat tahun 2004 melalui supervisi
PT. Jakarta Monorail dan dibangun di
atas permukaan tanah sebanyak dua jalur – Semanggi sampai Karet serta Kampung
Melayu – Taman Anggrek. Monorel ini termasuk kategori kapasitas rendah atau
menengah direncanakan mengangkut 15.000 penumpang per jam.
Menurut sumber Fortune Indonesia yang
tahu soal Monorel, awalnya proyek monorel ini ditujukan untuk Mtrans,
perusahaan transportasi Malaysia yang sama sekali tidak memberikan kejelasan
setelah MoU. Sampai akhirnya proyek monorel – senilai US$430 juta - jatuh ke
tangan konsorsium Omnico Singapura yang belakangan juga batal karena ragu-ragu.
Pasalnya, pemprov tidak bisa memberikan jaminan untuk kelangsungan proyek.
Gagal dengan Singapura, tak patah
arang, narasumber tersebut menjelaskan proyek monorel akan mendapatkan investor
baru dari Dubai yang janjinya pun tak ditepati. Masalah finansial ini membuat
PT. Jakarta Monorail pun meninggalkan proyek ini di tahun 2008. Dan Oktober
2011 lalu, secara resmi, Fauzi Bowo, Gubernur Provinsi DKI Jakarta saat ini
menyatakan proyek monorel ini dibatalkan. BPKP menaksir kerugian dari proyek
ini sebesar Rp 204 miliar.
Kini, Pemprov berkonsentrasi menggarap
MRT. Kita tinggal menunggu, apakah MRT sekedar mimpi atau benar-benar jadi
solusi. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar