Selasa, 22 Januari 2013
Mengayuh Laba dari Pehobi Sepeda
Mengayuh Laba dari Pehobi Sepeda
Pasar menganga di bisnis sepeda sangat menggiurkan, sekitar 6 juta setahun dengan pertumbuhan 20% tahun ini. Bagaimana produsen sepeda lokal menadah keuntungan tersebut?
Oleh Anjar Leksana
Reportase tambahan oleh Hendrika Yunapritta dan Gloria Haraito
Wiwie Kurnia, Presdir Mega Finance punya kesibukan rutin saban akhir pekan, yakni bersepeda. “Hari minggu saya bersepeda 60 kilometer dalam waktu 1 jam 45 menit,” ujar Wiwie yang gemar menggenjot sepeda balap di rute-rute dalam kota Jakarta. Wiwie memilih berolahraga sepeda sejak tahun 1995.
Alasan Wiwie jatuh cinta pada sepeda balap adalah karena ia mencari ajang untuk melatih kardio. “Itu bisa dicapai dengan lari, berenang, dan sepeda,” jelasnya. Itu pula sebabnya, Wiwie tidak keranjingan menggowes mountain bike, seperti sebagian besar orang. Maklum, menggowes mountain bike dengan arena yang tidak rata menghasilkan keahlian dan keberanian. “Kalau sepeda balap lebih ke fisik dan power, lebih pada heart rate dan latihan pernapasan,” tutur Wiwie yang punya empat sepeda, tapi paling suka menggenjot sepeda Pinarello-nya. Rencananya, Wiwie akan menggowes keliling Bali – 2 hari sejauh 400 kilometer.
Bicara soal mountain bike, ada Emirsyah Satar, Direktur Utama Garuda Indonesia yang gemar menyusuri medan tidak rata. Emir – yang kerap ikut touring saat akhir pekan – mendirikan komunitas Apache Bikers Community.
Nah, kegemaran bersepeda selalu nampak pada car free day di jalan-jalan protokol seperti Sudirman-Thamrin – biasanya diadakan dua pekan sekali. Saat inilah yang dinanti Arif Jatmiko untuk mengayuh sepedanya berkeliling Jakarta. “Selain sehat berkeringat, ramah lingkungan, hemat pula,” ujar Arif yang mengeluarkan duit jutaan rupiah untuk membeli MTB keluaran Polygon.
Benar, diantara ratusan merek sepeda yang dikayuh, kita bisa menemukan merek-merek lokal yang bertahan. Mereka menadah pasar pesepeda yang masih tumbuh sampai tahun ini. Dispoly Indonesia yang membawahi merek Polygon masih dianggap sebagai penikmat kue sepeda terbesar di Indonesia.
Animo masyarakat akan olah raga bersepeda, menurut Direktur Disploy Indonesia, Ronny Liyanto, ibarat memetik buah yang sudah sudah ditanam belasan tahun lalu. Sebelum pehobi sepeda semarak kini, Polygon rajin mengadakan acara bersepeda untuk mengedukasi masyarakat. Kata Ronny, mereka juga mengampanyekan pengertian bahwa sepeda tidak lagi sebatas alat transportasi, namun sudah menjadi gaya hidup. “Dulu Polygon sering meminjamkan sepeda ke perusahaan-perusahaan untuk acara tertentu, supaya karyawannya gemar bersepeda,” ujar Ronny.
Polygon, merek sepeda asal Sidoarjo, Jawa Timur ini yang telah menjadi merek lokal cukup menguasai pasar. Polygon harus bersaing di tengah gempuran sepeda-sepeda merek dunia yang membanjiri negeri ini. Menurut Ronny, pangsa pasar dalam negeri, saat ini Polygon mampu menggaet 60% di kategori sepeda gaya hidup atau life sytle.
Dispoly yang berdiri pada 1989 di Jawa Timur sejak awal memang dibangun dengan orientasi ekspor. Bahkan 99% produksi mereka dikirim ke luar negeri. Barulah pada tahun 1997, Dispoly tertarik dengan pasar domestik. Dispoly menamai sepeda produknya sebagai Polygon, berarti segi banyak – untuk membangun sebuah sepeda, mereka memerlukan banyak aspek, seperti kualitas, geometri, dan kenyamanan. Setelah mencicipi pasar lokal, Polygon tidak mau berhenti. Orientasi pasar mereka juga berubah, menjadi 40% untuk alokasi domestik.
Sebagai pelaku bisnis yang sudah lama, Polygon menebar jaring dengan cukup lebar. Pabrik mereka membuat 155 macam sepeda dengan rentang harga antara Rp2 juta sampai Rp80 juta per unit. Saat ini, pabrik sepeda Polygon di Sidoarjo bisa memproduksi 600.000 unit sepeda setahun, dan tahun depan mereka akan meningkatkan kapasitas produksi menjadi 800.000 unit.
Demi menyebarkan produk ke seluruh Indonesia, Polygon membangun jaringan pengecer sendiri bernama Rodalink. Kini ada 42 gerai Rodalink, lima diantaranya di Singapura, dan lima di Malaysia. Gerai Rodalink yang besar – seperti bisa Anda jumpai di kompleks ruko Melati Mas, Serpong, menelan investasi Rp10 miliar. Menurut Ronny, mereka berencana menancapkan kuku di pasar global, salah satunya dengan membuka gerai Rodalink di California, Amerika Serikat.
Ketua Asosiasi Industri Persepedaan Indonesia (AIPI), Rudiono, mengamini bahwa permintaan sepeda domestik masih relatif besar – sekitar 6 juta sampai 7 juta per tahun. Ia percaya bahwa pasar sepeda masih bertumbuh 20% tahun ini. Bahkan, Swastika R., pemilik Waroeng BMX dan distributor resmi untuk sepeda merek Pitts, mengatakan bahwa puncak permintaan sepeda belum lagi terjadi. “Pasarnya ini masih berkembang, sekarang belum sampai puncaknya,” tutur Swastika.
Dari pasar sebesar itu, produsen lokal hanya mampu memasok 30%, sisanya dipenuhi oleh sepeda impor dari berbagai negara, terutama China. Namun, Rudi menjelaskan bahwa tiga besar pemain lokal – Wimcycle, Polygon, dan United – memiliki pangsa pasar mereka sendiri, lagipula pasar domestik memang masih sangat besar.
Selain menebar peritel, produsen sepeda juga rajin mengeluarkan produk baru. Terang Dunia Internusa, produsen United, tergolong sering menawarkan varian baru. Arifin Tedja, General Manager PT Terang Dunia Internusa menggambarkan bahwa dalam setahun mereka bisa mengembangkan sepuluh varian anyar untuk berbagai jenis sepeda, dari sepeda untuk anak-anak hingga mountain bike.
Dalam setahun, Arifin mengungkap bahwa kapasitas pabrik mereka adalah satu juta unit dan berorientasi pada pasar lokal. “Sekitar 70% produksi sepeda kami adalah untuk pasar lokal,” jelas Arifin. United membanderol produknya dari Rp1,5 juta hingga Rp50 juta per unit.
Yochi Hartono, salah satu pentolan komunitas sepeda JPG (jalur pipa gas) di Serpong yang kini mempunyai anggota aktif sebanyak 500 orang, berpendapat bahwa seharusnya para pemain lokal lebih meningkatkan kapasitas produksi mereka untuk pasar dalam negeri karena permintaan yang sangat banyak. Jadi kekosongan tersebut tak diisi oleh produk yang berasal dari impor, termasuk sepeda dari China yang merajalela. “Kami dan para pecinta sepeda lainnya juga tak minder alias percaya diri kalau pakai produk dalam negeri, toh kualitasnya tak kalah dengan produk Eropa,” ujar Yochi.
Masalahnya, menurut Ronny, bea masuk untuk impor sepeda utuh jauh lebih murah ketimbang impor bahan baku sepeda. Itu sebabnya, pasar menganga kita kebanjiran produk sepeda luarnegeri. “Yah, kalau bisa pemerintah mengurangi bea masuk untuk bahan baku, toh kami juga berorientasi ekspor,” ujarnya.
Nah, biar begitu, tetap saja produsen sepeda lokal kian giat mengayuh produksi mereka. ***
Boks 1
Sepi Karena Liburan Plus Lebaran
Siang itu, suasana toko sepeda di Jembatan Lima, Minggu tampak ramai. Sekitar empat toko sepeda tampak sibuk melayani pelanggan. Di bagian depan toko, kita bisa melihat aneka ragam dan sepeda anak. Beberapa merek yang terpampang di badan sepeda : Family, Royal, Hokiku, Sinchan, Evergreen, dan Little But – umumnya merek sepeda dari China.
Namanya juga sepeda anak-anak, jadi warna-warna dan gambar yang tersemat di sepeda itu amat kental dengan dunia anak. Ada yang bergambarkan tokoh Ipin Upin, Mickey Mouse, dan Goofy. "Yang paling banyak dicari adalah sepeda anak hingga usia tanggung merek China," ujar Anna, pemilik toko Aneka Baru. Menurutnya, sepeda mini impor dari China masih menjadi primadona lantaran harganya yang murah-meriah, mulai dari Rp100.000 hingga Rp200.000. Sepeda gunung asal Negeri Tirai Bambu juga menjadi incaran karena harganya mulai dari Rp400.000.
Anna tak memungkiri, kualitas sepeda lokal lebih bagus ketimbang sepeda impor dari China. Karena itulah Aneka Baru tetap menyediakan sepeda United dan Wimcycle di toko seluas 4x20 meter persegi (m2) itu. Anna mengatakan, perbandingan antara stok sepeda China dan lokal adalah 60%:40%. Aneka Baru menjual sepeda anak hingga tanggung merek Wimcycle seharga Rp600.000-Rp700.000 per unit. Sementara untuk sepeda gunung, dijual Rp1 juta hingga Rp5 juta per unit.
Harga sepeda United tak terpaut jauh dari kisaran itu. Hanya saja untuk sepeda gunung, harga United bisa menyentuh Rp10 juta. "Untuk sepeda hobi yang harganya mahal seperti ini, kami harus indent. Jika pabrik ada stok, satu atau dua hari barang sudah bisa sampai ke pembeli," kata Anna.
Di akhir pekan dan musim liburan sekolah, Aneka Baru bisa menjual 10 unit sepeda per hari – kebanyakan impor dari China. Sementara merek lokal biasanya laku satu atau dua unit per minggu.
Tak berbeda jauh dengan Aneka Baru, Toko Jaya juga menjual aneka macam sepeda impor dari China serta merek lokal United dan Wimcycle. Menurut Sukanto, pemilik toko Jaya, ia tak menjual Polygon karena harganya lebih mahal ketimbang dua merek lokal lain.
Menurut pria yang sudah membuka usaha toko sepeda sejak tahun 1980-an itu, dahulu Jaya menjual lebih banyak sepeda lokal. Sayang, lantaran banyak pabrik tutup, Jaya pun hanya menjual dua merek lokal. Beberapa jenis sepeda United yang ada di toko Jaya antara lain Patrol, Felipe, Dominate, Miami FX, dan Exotic. Jaya hanya menyediakan stok United yang harganya maksimal Rp2 juta. Sementara sepeda Wimcycle yang dijual di toko ini antara lain Mini Jolly, Barbie, College, hingga sepeda gunung Boxer dan Hot Rod. Jaya menyediakan stok Wimcycle yang harganya maksimal Rp1,5 juta. "Kelebihan menjual Wimcycle ialah, saya bisa bon sebulan," kata Sukanto. Saat akhir pekan, penjualan Jaya bisa mencapai 10 unit per hari, yang juga mayoritas merek China.
Ia mengakui, penjualan ini tak sebagus tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, tahun ini Lebaran berdekatan dengan libur sekolah. Ini menyebabkan orangtua menahan pengeluaran sepeda untuk kebutuhan puasa dan Lebaran. ***
Boks 2
Sepeda Titanium Merah Putih
Ada yang unik dari brand sepeda Pitts, karena ada cap bendera merah putih di dekat logonya – di rangka sepeda Pitts. Bukan sekedar gambar bendera, hal itu menggambarkan bahwa Pitts adalah produk Indonesia.
Meski disambung dan dibentuk di Taiwan – produsennya tidak menanam investasi untuk membuat pabrik lokal di sini – Pitts dirancang khusus sesuai ergonomi orang Indonesia. “Panjang rangka disesuaikan dengan tinggi orang Indonesia, demikian juga dengan jarak ke pedal dan sebagainya,” jelas Swastika Ridayatma, pemilik Swazbike – authorized distributor untuk Pitts.
Agustinus Santosa, penggagas Pitts, adalah penggemar sepeda yang juga pengusaha power plant. Bisnisnya ini membuat Agustinus banyak bertemu dengan pemasok titanium. Dari situlah, Agustinus mendapatkan ide untuk membuat sepeda dengan rangka titanium yang cocok untuk orang Indonesia. Produksinya dimulai tahun 2007, berbekal rancangan sepeda yang spesifikasinya disesuaikan dengan ergonomi orang Indonesia dan dibikin di Taiwan. “Batch satu, sebanyak 24 unit sudah habis terjual,” tutur Swas, yang mulai bergabung ketika Agustinus mengupayakan Pitts generasi kedua.
Mereka sengaja mengambil nama Pitts – bahasa Belanda untuk sepeda – dan mematenkannya sebagai produk sepeda asli Indonesia. Harga rangka Pitts tidak murah, Rp13,8 juta – namun cukup bersaing karena kompetitor seperti Motts jelas lebih mahal banderolnya. “Kami nyaris tidak punya kompetitor spesifik karena posisi Pitts yang unik : premium ultimat titan bike dengan harga affordable,” jelas Swastika.
Lagipula pasar Pitts lebih segmented dan umumnya adalah penggemar sepeda yang lebih dewasa. “Mereka sudah pernah mencoba rangka karbon, aluminium alloy, tapi terakhir lebih memilih titanium karbon,” kata Swastika yang memasarkan Pitts dengan promosi dari mulut ke mulut. ***
Diagram
Polygon kapasitas produksi 600.000 unit per tahun. 70% ekspor ke 62 negara
United kapasitas Produksi 1 juta unit per tahun. 30% ekspor ke Denmark, Spanyol Portugal, Italia.
Wimcycle kapasitas produksi 1 juta unit per tahun. 60% ekspor ke 26 negara
By The Numbers
6 juta-7 juta
Merupakan kebutuhan sepeda nasional tiap tahun.
20%
Target pertumbuhan industri sepeda hingga akhir 2012 atau menjadi 7,2 juta unit.
2 juta unit
Adalah kemampuan industri lokal menyupalai kebutuhan sepeda nasional.
30%-40%
Produk sepeda lokal yang diekspor ke luar negeri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar