Selasa, 22 Januari 2013

Adu Program di Layar Kaca


Feature 54

Adu Program di Layar Kaca

Jumlah stasiun televisi (berbayar maupun gratis) yang mencapai lebih dari 15 stasiun, membuat persaingan memperebutkan kue iklan dan audiens semakin tinggi. Alhasil, selain membuat program unggulan, stasiun televisi juga mulai mengurangi biaya produksi dengan mengandalkan inhouse production. Oleh Afif Maulana D dan Anjar Leksana

Sampai kini televisi masih menjadi media yang diminati masyarakat, terutama televisi tak berbayar yang aksesnya terbuka lebar. Tak heran bila 65% belanja iklan nasional, menurut data AGB Nielsen tahun 2011. Namun, jumlah stasiun televisi yang bersaing mengiris kue itu tidak sedikit, setidaknya ada 15 stasiun televisi yang bisa diakses gratis. Persaingan ini membuat stasiun TELEVISI menerapkan sejumlah strategi. Mengutip Dadang Rahmat Hidayat, Komisioner KPI (Komisi Penyiaran Indonesia),  sinetron --baik stripping maupun FTV—merupakan program dengan rating tinggi, hingga jenis program ini menjadi salah satu andalan stasiun televisi dengan menempatkan pada prime time  (18:00-21:00).

Tetapi, tumbuhnya stasiun televisi, tak sebanding dengan pasokan program acara ataupun sinetron dari pihak production house  luar. Sehingga, jika mengambil dari pemasok sama, dikhawatirkan ‘nafas’ dari sinetron produksi dalam satu production house akan sama. Sumardi, pengamat pemasaran dari Octobrand, mengatakan dalam bisnis televisi, peran first in the market itu sangat berpengaruh. Sehingga, stasiun televisi yang hadir belakangan harus memilih menggarap segmen dan positioning hiburan yang berbeda.

Sadar posisinya sebagai pendatang baru dalam industri televisi nasional, Trans TV memilih model bisnis yang berbeda dibanding stasiun televisi pendahulunya. Dari sisi segmentasi Trans Corp menyasar segmen A, B, dan C dengan fokus pada penonton remaja. Dari sisi konten, mereka sangat mengandalkan produk yang penuh kreatifitas dengan biaya produksi lebih rendah untuk memenangkan pasar. Salah satu caranya, Trans TV mengandalkan in house production. Sekitar 90% dari keseluruhan konten siarannya dihasilkan oleh sumber daya manusia internal berusia muda. Mayoritas diantara mereka bahkan fresh graduate dan sekitar 70%  berusia di bawah 26 tahun. Pada tahun 2012, dengan karyawan 1.279, durasi program-program buatan in house production untuk Trans TV adalah sebanyak 76% dengan 115 jam/minggu. Bandingkan dengan RCTI yang hanya menggunakan program inhouse production sebanyak 38%, Indosiar 28% dan SCTV 29%.

Ishadi SK, Komisaris Trans TV mengatakan jauh hari sebelum diluncurkan, mereka sudah melakukan riset kuantitatif dan kualitatif di lima kota untuk melihat pesaingnya. Hasilnya, bila head to head dengan stasiun lain dan memakai program sama, maka televisi mereka tidak akan memenangi persaingan. Maklum, saat itu, program-program sinetron maupun televisi, masih dikuasai segelintir orang. Bukan cuma itu, membeli sinetron atau program dari production house luar paling tidak 60%-70% dari pendapatan akan dinikmati pembuat program.

Awalnya, Trans TV mengandalkan film-film produksi Hollywood. Namun, rating­­-nya tidak sebagus sinetron dan program reality show. Tak ayal, mereka pun mulai memasukkan sinetron sebagai program andalan, lantas muncullah sinetron seperti Nini Pelet dan Misteri Gunung Merapi. Setelah itu lambat laun Trans TV mulai berani mengembangkan program in house production hingga sekarang mendominasi siaran mereka.

Setelah mengakusisi TV 7 (yang kemudian diberi nama Trans7) model bisnis mereka pun tidak berubah - lebih banyak mengandalkan program non-drama. Perbandingannya 60% non-drama, 25% news dan 15% sport. Sedangkan Trans TV 70% non- drama, 15 % drama, 10% news dan 5% sport.

Strategi itu terbukti tepat. Mengandalkan in house production Trans TV mampu kembali modal pada tahun pertama, sedangkan  Trans 7 sudah berkinerja positif semenjak 51% sahamnya dibeli Trans Corp – awalnya TV7 didirikan oleh Kompas Gramedia, induk Fortune Indonesia. Maklum, biaya yang dikeluarkan untuk program unggulan memang tak besar. Ishadi mengatakan untuk membuat variety show dengan durasi tiga jam seperti ‘Indonesia Mencari Bakat 3’, biayanya kurang dari Rp400 juta. Acara talkshow satu jam seperti ‘Show Imah’  tidak lebih dari Rp100 juta. Sedangkan untuk acara HUT Trans TV bisa Rp8 miliar- Rp10 miliar. “Intinya dalam bisnis televisi  pengeluaran harus sebanding dengan earning. Jadi semakin mendekati prime time semakin mahal biayanya,” jelas Ishadi. Saat ini pangsa pasar Trans TV sebesar 12% dan Trans 7 sebesar 11%.

Emil Syarif, Kepala Divisi Produksi Trans TV mengatakan dalam merancang suatu program baru, pihaknya bisa mengacu pada pakem atau ciri yang sudah terbentuk 11 tahun ini. Namun bukan berarti itu hal mudah, justru ketika mengonsep suatu program baru, timnya yang berjumlah 90 orang harus berupaya keras agar acaranya tetap kreatif dan segar. “Positioning kami sebagai pembawa trendsetter di masyarakat sudah kuat, jadi acara kami harus beberapa langkah di depan yang lain,” kata Emil.

Emil mencontohkan ketika membuat program Cari Cinta yang baru 4 epsiode ditayangkan. Reality show kontak jodoh seperti ini sudah sering dilakukan, konsep yang sudah jamak untuk acara ini adalah beberapa orang pria dan wanita dipertemukan dalam satu tempat untuk saling mengenal. Maka ia mengubah dengan mengambil ide dari acara yang bertajuk Take Me Out Indonesia. Hanya ada seorang pria atau wanita saja setiap episode yang diberi pilihan beberapa profil calon pasangan. Rating acara yang tayang tiap Sabtu sore ini pun lumayan, menembus 12 poin.
                         
Saat ini ada beberapa unggulan di Trans TV dan Trans 7 yang mendapat rating 14 poin ke atas seperti Indonesia Mencari Bakat, Opera Van Java, Bukan Empat Mata, Ceriwis, Insert, dan Supertrap. Program-program ini diproduksi sendiri oleh Trans TV dan Trans7.

Buatan sendiri, bukan tanpa risiko. Menurut Emil, layaknya di stasiun televisi lain, tidak semua umur program di Trans TV bisa bertahan lama seperti Ceriwis dan Insert yang sudah 9 tahun atau Extravaganza sampai 5 tahun. Banyak faktor yang membuat program tertentu berkinerja lebih baik dibanding yang lain, antara lain bintang tamu terkenal dan menarik, penempatan waktu tayang, keunikan konsep, dan kecocokan dengan selera masyarakat. “Biasanya setelah 3-6 bulan tayang suatu program itu bisa dikatakan berhasil atau tidak,” jelas Emil. Tidak jarang acara sudah dikonsep secanggih mungkin tapi tidak mendapat respon yang cukup. Seperti acara Ketok Palu di Trans 7 yang dihentikan sebelum berumur 1 tahun. Padahal dari sisi ide, sangat fresh dan aktual.  

Andi Chairil, Kepala Divisi Produksi di Trans 7 melihat bahwa merancang suatu program itu ada hokinya tersendiri. “Yang bisa kita lakukan hanya mencari ide lewat referensi sebanyak mungkin dan tajam melihat tren. Sisanya soal teknis,” jelas Andi. Ia menambahkan program yang ratingnya terus turun bisa disiasati dengan mengganti konsep, menambah gimmick, sampai merubah jam tayang. Jika terus turun tidak ada pilihan selain menghentikannya. Andi juga melihat keberhasilan program tidak hanya dilihat dari masa penayangannya saja, tapi apakah bisa ia menjaga mood penonton untuk tidak berpindah channel setelah acara itu selesai. “Ada program yang bisa mendongkrak program setelahnya. Ini tidak hanya soal keunikan tapi penempatan yang tepat,” kata Andi.

Jika Trans TV dan Trans 7 mampu bersaing di ranah pertelevisian dengan mengandalkan in house production-nya, SCTV mengambil jalan yang berbeda. SCTV yang sudah kuat image di masyarakat dengan tayangan sinetron dan program berita merasa tidak perlu mengubah model bisnisnya dalam waktu dekat. Masa prime time yang mendapat market share 65% sudah lebih dari cukup untuk dipuaskan dengan sinetron. Namun untuk bersaing dalam program sinetron SCTV memilih membeli PH yang sudah “jadi”, yaitu Screenplay pada 2010.

Sebenarnya secara perusahaan Screenplay baru berumur 2 tahun, namun pendirinya Sukhdev Singh dan Wicky Victorolindo adalah pemain lama di production house lokal. Sukhdev 20 tahun bekerja di Multivision Plus sedangkan Wicky 15 tahun. Mereka mendirikan production house sendiri karena melihat tren sinetron saat ini cenderung cepat berubah. “Bukan zamannya lagi sinetron yang penuh amarah seperti dulu, selera masyarakat sudah membaik,” terang Sukhdev. Di sisi lain ia juga melihat kecenderungan televisi sekarang adalah membuat in house production sendiri yang kian menyulitkan production house dalam menjual.

Di Screenplay konsep produksi yang mereka tawarkan berbeda dari awal. Lokasi syuting yang beragam baik di dalam maupun luar negeri menjadi andalan  untuk FTV maupun stripping. Merasa cocok dengan konsep Screenplay, PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (holding SCTELEVISI) lalu membeli 51% saham Screenplay pada awal 2010.

Sejak saat itu semua kebutuhan sinetron SCTV dipasok dari Screenplay. Rating rata-rata sinetron Screenplay berkisar dari 11-19 poin. Sinergi ini berjalan dengan lancar karena Screenplay tidak lagi fokus berjualan tapi hanya berproduksi. Total mulai November 2008 hingga Desember 2012, sudah diproduksi 1.800 jam sinetron atau 900 jam per tahun. Jumlah ini mengalahkan produktifitas production house lain seperti Star Vision (250 jam) atau Multi Vision (675 jam).

Meski menjadi anak perusahaan, Screenplay ternyata tetap menjual produk kepada SCTV dengan harga pasar. “Tidak ada transfer pricing atau diskon karena kami sebenarnya unit bisnis terpisah yang dituntut target tersendiri oleh komisaris,” jelas Sukhdev. Ia mengaku dibebaskan menjual ke stasiun lain, tapi dengan sumber daya yang ada, mereka masih fokus ke SCTV. Beberapa sinetron stripping garapan Screenplay seperti : Pesantren Rock and Roll, Biang Kerok Kecil, Ustadz KTP, Putih Abu-Abu, dan Love In Paris.

Padahal harga beberapa roduksi sinetron Screenplay secara rata-rata lebih mahal dibanding production house lain. Tengok saja sinetron Kupinang Kau Dengan Basmallah yang menelan biaya 4 kali lebih besar karena syuting di Turki selama satu musim tayang. Atau Love In Paris yang sedang tayang saat ini yang mengombinasikan syuting di Paris dengan Jakarta, menghabiskan biaya 5 kali lipat. Sutanto Hartono, Presiden Direktur SCTV dalam wawancara dengan Fortune  mengatakan harga sinetron rata-rata mereka adalah sekitar Rp 300 jutaan. Maka satu episode Love In Paris harganya bisa menembus Rp 1,5 miliar.

Wicky yang didapuk sebagai Chief Operating Officer di Screenplay mengatakan harga yang tinggi memang nantinya akan dijual dengan harga yang tinggi pula. Ia mengklaim rating Love In Paris episode pertama saja sudah mencapai 19 poin dan langsung memiliki fans di Facebook sebanyak 270 ribu.

Sukhdev menilai sebagai entitas production house baru, diferensiasi sangat penting. “Meski terkenal karena syuting di luar kota namun kami tidak asal. Kami sertakan budaya dan karakter lokal yang kuat di sana, agar masyarakat juga belajar keragaman budaya sendiri,” ujarnya. Bagi SCTV, jam tayang program drama menempati posisi yang signifikan, yaitu 45%.

Konsep Screenplay yang “santun” ini mendapat apresiasi dari Dadang Rahmat Hidayat. Ia menilai walau rating tinggi, FTV di SCTV tak menuai banyak keluhan dibanding sinetron pada jam tayang sama.

Yoris Sebastian, Chief Creative Officer  OMG Creative Consulting, punya pandangan sendiri tetang kreativitas dunia in house production. Sekarang ini, Yoris  menilai ada perubahan tren dalam industri pertelevisian. Kalau dulu, banyak stasiun televisi swasta yang menggunakan jasa outsourcing dan memakan banyak biaya dalam menghasilkan suatu acara televisi. Sedangkan kini, mereka sudah pakai in house production.

Yoris berpendapat, biaya produksi bisa lebih ditekan ketimbang menggunakan outsourcing. Tak hanya itu, kreativitas  pun bisa lebih ditingkatkan dan bisa mendongkrak rating naik lebih tinggi. Misalnya saja, acara Opera Van Java, yang dinilai sudah memiliki kreativitas bagus. “Namun, yang perlu digarisbawahi adalah, penambahan tim kreatif dan produser supaya bisa makin berkualitas dan kian apik tayanganya,” terang Yoris.

Untuk menghasilkan tayangan apik, Yoris menuturkan in house production  harus   pintar melihat celah apa yang bakal digemari masyarakat. Kemudian pihak stasiun televisi pun harus berani berinvestasi dalam sumber daya manusia, terutama untuk penambahan tim produksi. Jadi, ketika ada tayangan yang bagus, kualitasnya tak menurun karena keterbatasan tim produksi dan untuk mengejar deadline.***

Tidak ada komentar: