Feature
54
Adu
Program di Layar Kaca
Jumlah stasiun televisi (berbayar maupun
gratis) yang mencapai lebih dari 15 stasiun, membuat persaingan memperebutkan
kue iklan dan audiens semakin tinggi. Alhasil, selain membuat program unggulan,
stasiun televisi juga mulai mengurangi biaya produksi dengan mengandalkan inhouse production. Oleh Afif Maulana D dan Anjar Leksana
Sampai
kini televisi masih menjadi media yang diminati masyarakat, terutama televisi
tak berbayar yang aksesnya terbuka lebar. Tak heran bila 65% belanja iklan
nasional, menurut data AGB Nielsen tahun 2011. Namun, jumlah stasiun televisi
yang bersaing mengiris kue itu tidak sedikit, setidaknya ada 15 stasiun
televisi yang bisa diakses gratis. Persaingan ini membuat stasiun TELEVISI
menerapkan sejumlah strategi. Mengutip Dadang Rahmat Hidayat, Komisioner KPI
(Komisi Penyiaran Indonesia), sinetron --baik
stripping maupun FTV—merupakan
program dengan rating tinggi, hingga
jenis program ini menjadi salah satu andalan stasiun televisi dengan menempatkan
pada prime time (18:00-21:00).
Tetapi,
tumbuhnya stasiun televisi, tak sebanding dengan pasokan program acara ataupun
sinetron dari pihak production house luar. Sehingga, jika mengambil dari pemasok
sama, dikhawatirkan ‘nafas’ dari sinetron produksi dalam satu production house akan sama. Sumardi, pengamat
pemasaran dari Octobrand, mengatakan dalam bisnis televisi, peran first in the market itu sangat
berpengaruh. Sehingga, stasiun televisi yang hadir belakangan harus memilih
menggarap segmen dan positioning hiburan
yang berbeda.
Sadar
posisinya sebagai pendatang baru dalam industri televisi nasional, Trans TV memilih
model bisnis yang berbeda dibanding stasiun televisi pendahulunya. Dari sisi
segmentasi Trans Corp menyasar segmen A, B, dan C dengan fokus pada penonton
remaja. Dari sisi konten, mereka sangat mengandalkan produk yang penuh
kreatifitas dengan biaya produksi lebih rendah untuk memenangkan pasar. Salah
satu caranya, Trans TV mengandalkan in
house production. Sekitar 90% dari keseluruhan konten siarannya dihasilkan
oleh sumber daya manusia internal berusia muda. Mayoritas diantara mereka
bahkan fresh graduate dan sekitar 70%
berusia di bawah 26 tahun. Pada tahun
2012, dengan karyawan 1.279, durasi program-program buatan in house production untuk Trans TV adalah sebanyak 76% dengan 115
jam/minggu. Bandingkan dengan RCTI yang hanya menggunakan program inhouse production sebanyak 38%,
Indosiar 28% dan SCTV 29%.
Ishadi
SK, Komisaris Trans TV mengatakan jauh hari sebelum diluncurkan, mereka sudah melakukan
riset kuantitatif dan kualitatif di
lima kota untuk melihat pesaingnya. Hasilnya, bila head to head dengan stasiun
lain dan memakai program sama, maka televisi mereka tidak akan memenangi
persaingan. Maklum, saat itu, program-program sinetron maupun televisi, masih
dikuasai segelintir orang. Bukan cuma itu, membeli sinetron atau program dari production house luar paling tidak 60%-70%
dari pendapatan akan dinikmati pembuat
program.
Awalnya,
Trans TV mengandalkan film-film produksi Hollywood. Namun, rating-nya tidak sebagus sinetron dan program reality show. Tak ayal, mereka pun mulai
memasukkan sinetron sebagai program andalan, lantas muncullah sinetron seperti Nini Pelet dan Misteri Gunung Merapi. Setelah itu
lambat laun Trans TV mulai berani mengembangkan program in house production hingga sekarang mendominasi siaran mereka.
Setelah
mengakusisi TV 7 (yang kemudian diberi nama Trans7) model bisnis mereka pun
tidak berubah - lebih banyak mengandalkan program non-drama. Perbandingannya 60%
non-drama, 25% news dan 15% sport. Sedangkan Trans TV 70% non- drama, 15 %
drama, 10% news dan 5% sport.
Strategi
itu terbukti tepat. Mengandalkan in house
production Trans TV mampu kembali modal pada tahun pertama, sedangkan Trans 7 sudah berkinerja positif semenjak 51%
sahamnya dibeli Trans Corp – awalnya TV7 didirikan oleh Kompas Gramedia, induk
Fortune Indonesia. Maklum, biaya yang dikeluarkan untuk program unggulan memang
tak besar. Ishadi mengatakan untuk membuat variety
show dengan durasi tiga jam seperti ‘Indonesia Mencari Bakat 3’, biayanya
kurang dari Rp400 juta. Acara talkshow satu jam seperti ‘Show Imah’ tidak lebih dari Rp100 juta. Sedangkan untuk
acara HUT Trans TV bisa Rp8 miliar- Rp10 miliar. “Intinya dalam bisnis televisi
pengeluaran harus sebanding dengan earning. Jadi semakin mendekati prime time semakin mahal biayanya,”
jelas Ishadi. Saat ini pangsa pasar Trans TV sebesar 12% dan Trans 7 sebesar
11%.
Emil
Syarif, Kepala Divisi Produksi Trans TV mengatakan dalam merancang suatu
program baru, pihaknya bisa mengacu pada pakem atau ciri yang sudah terbentuk
11 tahun ini. Namun bukan berarti itu hal mudah, justru ketika mengonsep suatu
program baru, timnya yang berjumlah 90 orang harus berupaya keras agar acaranya
tetap kreatif dan segar. “Positioning
kami sebagai pembawa trendsetter di
masyarakat sudah kuat, jadi acara kami harus beberapa langkah di depan yang
lain,” kata Emil.
Emil
mencontohkan ketika membuat program Cari Cinta
yang baru 4 epsiode ditayangkan. Reality
show kontak jodoh seperti ini sudah sering dilakukan, konsep yang sudah
jamak untuk acara ini adalah beberapa orang pria dan wanita dipertemukan dalam
satu tempat untuk saling mengenal. Maka ia mengubah dengan mengambil ide dari acara
yang bertajuk Take Me Out Indonesia.
Hanya ada seorang pria atau wanita saja setiap episode yang diberi pilihan
beberapa profil calon pasangan. Rating
acara yang tayang tiap Sabtu sore ini pun lumayan, menembus 12 poin.
Saat
ini ada beberapa unggulan di Trans TV dan Trans 7 yang mendapat rating 14 poin
ke atas seperti Indonesia Mencari Bakat, Opera
Van Java, Bukan Empat Mata, Ceriwis, Insert, dan Supertrap. Program-program ini diproduksi sendiri oleh Trans TV dan
Trans7.
Buatan
sendiri, bukan tanpa risiko. Menurut Emil, layaknya di stasiun televisi lain,
tidak semua umur program di Trans TV bisa bertahan lama seperti Ceriwis dan Insert yang sudah 9 tahun atau Extravaganza
sampai 5 tahun. Banyak faktor yang membuat program tertentu berkinerja lebih
baik dibanding yang lain, antara lain bintang tamu terkenal dan menarik,
penempatan waktu tayang, keunikan konsep, dan kecocokan dengan selera
masyarakat. “Biasanya setelah 3-6 bulan tayang suatu program itu bisa dikatakan
berhasil atau tidak,” jelas Emil. Tidak jarang acara sudah dikonsep secanggih
mungkin tapi tidak mendapat respon yang cukup. Seperti acara Ketok Palu di Trans 7 yang dihentikan
sebelum berumur 1 tahun. Padahal dari sisi ide, sangat fresh dan aktual.
Andi
Chairil, Kepala Divisi Produksi di Trans 7 melihat bahwa merancang suatu program
itu ada hokinya tersendiri. “Yang bisa kita lakukan hanya mencari ide lewat
referensi sebanyak mungkin dan tajam melihat tren. Sisanya soal teknis,” jelas
Andi. Ia menambahkan program yang ratingnya
terus turun bisa disiasati dengan mengganti konsep, menambah gimmick, sampai merubah jam tayang. Jika
terus turun tidak ada pilihan selain menghentikannya. Andi juga melihat
keberhasilan program tidak hanya dilihat dari masa penayangannya saja, tapi
apakah bisa ia menjaga mood penonton
untuk tidak berpindah channel setelah
acara itu selesai. “Ada program yang bisa mendongkrak program setelahnya. Ini
tidak hanya soal keunikan tapi penempatan yang tepat,” kata Andi.
Jika
Trans TV dan Trans 7 mampu bersaing di ranah pertelevisian dengan mengandalkan in house
production-nya, SCTV mengambil jalan yang berbeda. SCTV yang sudah kuat image di masyarakat dengan tayangan
sinetron dan program berita merasa tidak perlu mengubah model bisnisnya dalam
waktu dekat. Masa prime time yang
mendapat market share 65% sudah lebih dari cukup untuk dipuaskan dengan
sinetron. Namun untuk bersaing dalam program sinetron SCTV memilih membeli PH
yang sudah “jadi”, yaitu Screenplay pada 2010.
Sebenarnya
secara perusahaan Screenplay baru berumur 2 tahun, namun pendirinya Sukhdev
Singh dan Wicky Victorolindo adalah pemain lama di production house lokal. Sukhdev 20 tahun bekerja di Multivision
Plus sedangkan Wicky 15 tahun. Mereka mendirikan production house sendiri karena melihat tren sinetron saat ini cenderung
cepat berubah. “Bukan zamannya lagi sinetron yang penuh amarah seperti dulu,
selera masyarakat sudah membaik,” terang Sukhdev. Di sisi lain ia juga melihat
kecenderungan televisi sekarang adalah membuat in house production sendiri yang kian menyulitkan production house dalam menjual.
Di
Screenplay konsep produksi yang mereka tawarkan berbeda dari awal. Lokasi
syuting yang beragam baik di dalam maupun luar negeri menjadi andalan untuk FTV maupun stripping. Merasa cocok dengan konsep Screenplay, PT Elang Mahkota
Teknologi Tbk (holding SCTELEVISI) lalu membeli 51% saham Screenplay pada awal
2010.
Sejak
saat itu semua kebutuhan sinetron SCTV dipasok dari Screenplay. Rating rata-rata sinetron Screenplay
berkisar dari 11-19 poin. Sinergi ini berjalan dengan lancar karena Screenplay
tidak lagi fokus berjualan tapi hanya berproduksi. Total mulai November 2008
hingga Desember 2012, sudah diproduksi 1.800 jam sinetron atau 900 jam per
tahun. Jumlah ini mengalahkan produktifitas production
house lain seperti Star Vision (250 jam) atau Multi Vision (675 jam).
Meski
menjadi anak perusahaan, Screenplay ternyata tetap menjual produk kepada SCTV dengan
harga pasar. “Tidak ada transfer pricing
atau diskon karena kami sebenarnya unit bisnis terpisah yang dituntut target
tersendiri oleh komisaris,” jelas Sukhdev. Ia mengaku dibebaskan menjual ke
stasiun lain, tapi dengan sumber daya yang ada, mereka masih fokus ke SCTV. Beberapa
sinetron stripping garapan Screenplay
seperti : Pesantren Rock and Roll, Biang
Kerok Kecil, Ustadz KTP, Putih Abu-Abu, dan Love In Paris.
Padahal harga beberapa roduksi sinetron Screenplay
secara rata-rata lebih mahal dibanding production
house lain. Tengok saja sinetron Kupinang
Kau Dengan Basmallah yang menelan biaya 4 kali lebih besar karena syuting
di Turki selama satu musim tayang. Atau Love
In Paris yang sedang tayang saat ini yang mengombinasikan syuting di Paris
dengan Jakarta, menghabiskan biaya 5 kali lipat. Sutanto Hartono, Presiden
Direktur SCTV dalam wawancara dengan Fortune
mengatakan harga sinetron rata-rata mereka adalah sekitar Rp 300 jutaan.
Maka satu episode Love In Paris harganya
bisa menembus Rp 1,5 miliar.
Wicky yang didapuk sebagai Chief Operating Officer di Screenplay mengatakan harga yang tinggi
memang nantinya akan dijual dengan harga yang tinggi pula. Ia mengklaim rating Love In Paris episode pertama saja sudah
mencapai 19 poin dan langsung memiliki fans di Facebook sebanyak 270 ribu.
Sukhdev menilai sebagai entitas production house baru, diferensiasi sangat penting. “Meski terkenal
karena syuting di luar kota namun kami tidak asal. Kami sertakan budaya dan
karakter lokal yang kuat di sana, agar masyarakat juga belajar keragaman budaya
sendiri,” ujarnya. Bagi SCTV, jam tayang program drama menempati posisi yang
signifikan, yaitu 45%.
Konsep Screenplay yang “santun” ini mendapat apresiasi
dari Dadang Rahmat Hidayat. Ia menilai walau rating tinggi, FTV di SCTV tak
menuai banyak keluhan dibanding sinetron pada jam tayang sama.
Yoris Sebastian, Chief Creative Officer OMG Creative Consulting, punya pandangan
sendiri tetang kreativitas dunia in house production. Sekarang ini, Yoris
menilai ada perubahan tren dalam industri pertelevisian. Kalau dulu, banyak
stasiun televisi swasta yang menggunakan jasa outsourcing dan memakan banyak
biaya dalam menghasilkan suatu acara televisi. Sedangkan kini, mereka sudah
pakai in house production.
Yoris berpendapat, biaya produksi
bisa lebih ditekan ketimbang menggunakan outsourcing. Tak hanya itu,
kreativitas pun bisa lebih ditingkatkan dan bisa mendongkrak rating naik
lebih tinggi. Misalnya saja, acara Opera Van Java, yang dinilai sudah memiliki kreativitas
bagus. “Namun, yang perlu digarisbawahi adalah, penambahan tim kreatif dan
produser supaya bisa makin berkualitas dan kian apik tayanganya,” terang Yoris.
Untuk menghasilkan tayangan apik,
Yoris menuturkan in house
production harus pintar melihat celah apa yang bakal
digemari masyarakat. Kemudian pihak stasiun televisi pun harus berani
berinvestasi dalam sumber daya manusia,
terutama untuk penambahan tim produksi. Jadi, ketika ada tayangan yang bagus,
kualitasnya tak menurun karena keterbatasan tim produksi dan untuk mengejar deadline.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar