Selasa, 22 Januari 2013

Feature – Wom Finance

Feature – Wom Finance

JALUR LAMBAT BUAT WOM FINANCE
SETELAH MENGEJAR PERTUMBUHAN BISNIS YANG CEPAT, KINERJA PERUSAHAAN MULTIFINANCE INI TERGELINCIR TURUN. BAGAIMANA MEREKA MAMPU BANGKIT KEMBALI?

Oleh Patrick S. Hutapea & Anjar Leksana

            EKSPANSI usaha memang menuntut kecermatan. Jika lalai, akibatnya bisa fatal. Laju roda bisnis pun bakal tersendat. Tampaknya, uraian itu dapat menerangkan mengapa kinerja PT Wahana Ottomitra Multiartha, Tbk atau yang biasa disebut WOM Finance kurang kinclong. Padahal, perusahaan pembiayaan (multifinance) yang mayoritas sahamnya dikuasai PT Bank Internasional Indonesia, Tbk (BII) itu, sempat menjadi salah satu perusahaan pembiayaan sepeda motor terbesar di Indonesia.
            Ya, WOM Finance terpaksa menutup tahun 2011 dengan torehan laba bersih yang hanya berkisar Rp5,3 miliar. Nilai tersebut merosot 96% dibandingkan tahun sebelumnya. Sebetulnya, total pendapatan perseroan masih tercatat sebesar Rp1,65 triliun, atau tumbuh sekitar 11% dari pencapaian 2010.
            Namun, melonjaknya beban perusahaan hingga Rp1,63 triliun—naik 26% dari tahun 2010—ternyata benar-benar menggerus kemampuan WOM Finance dalam mencetak untung. Sebab, multifinance yang berdiri sejak 1982 ini ingin menurunkan tingkat non-performing financing/NPF (pembiayaan macet) mereka.
            Lihat saja, NPF perseroan turun dari 3,5% di kuartal-I 2011 menjadi 3% pada akhir Desember 2011. Tentu, itu berdampak pada membengkaknya pos cadangan kerugian akibat penurunan nilai aset keuangan. Di sepanjang 2011, nilainya mencapai Rp170 miliar, atau melesat 85% lebih dari tahun sebelumnya.
            Sebenarnya, kinerja perseroan pada 2010 silam masih lumayan bagus. Saat itu, WOM Finance masih sanggup meraup laba bersih senilai Rp138 miliar, atau meningkat 127% dari nilai laba bersih pada 2009. Pendapatan perseroan juga mendekati Rp1,5 triliun, naik 7,5% dibandingkan tahun sebelumnya. “Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan jumlah unit pembiayaan sepeda motor dan menurunnya jumlah biaya cadangan atas piutang ragu-ragu,” papar Presiden Direktur WOM Finance sewaktu itu, Suwandi Wiratno, dalam laporan tahunan 2010.
            Maklum, kala itu perseroan sukses membiayai sekitar 620.000 unit sepeda motor, setara dengan Rp7,3 triliun. Nilai tersebut meningkat sekitar 73% dari 2009. Tentu, prestasi tersebut mendapat dukungan dari laju penjualan sepeda motor nasional yang menembus 7 juta unit, tumbuh 26% dari volume penjualan tahun 2009.
            Kencangnya laju penjualan motor, menurut Suwandi, ternyata membuat persaingan bisnis antar-multifinance berjalan dengan sangat ketat. WOM Finance juga tak ingin kehilangan momentum. “Untuk menghadapi persaingan tersebut, WOM Finance terus meningkatkan kinerja dan perbaikan dalam proses kredit, penambahan jumlah kantor cabang, dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia,” ungkap eksekutif yang sebelumnya menjabat sebagai direktur utama PT BII Finance Center, anak usaha BII yang bergerak di segmen pembiayaan mobil baru.      
            Selain gencar menyalurkan pembiayaan pada 2010, nafsu ekspansi bisnis WOM Finance bisa terlihat dari berbagai taktiknya dalam menggaet konsumen. Misalnya, mereka menjalankan penjualan langsung (direct sale) dengan menawarkan program kredit sepeda motor kepada konsumen terpilih yang ada dalam database perusahaan. Tawarannya cukup menggiurkan: diskon angsuran yang lebih cepat.
            Sebagai upaya dalam menawarkan kemudahan bagi pelanggan, WOM Finance bekerja sama dengan berbagai bank besar—tentunya, selain BII—dan PT POS Indonesia untuk menyediakan jaringan pembayaran angsuran. Lebih lagi, manajemen juga melengkapi petugas penagihan dengan mesin Electronic Data Capture (EDC).
            WOM Finance pun rajin membuka kantor cabang. Hingga kini, kantor cabang mereka berkisar 220 unit, tersebar dari Medan di Sumatera Utara sampai Pare-Pare di Sulawesi Selatan. Sebagai perbandingan, pada tahun 2007 mereka baru memilik 102 kantor cabang.  Hasil dari pembengkakan cabang adalah jumlah konsumen aktif perusahaan bisa mencapai 1,1 juta orang.
            Itu sebabnya, multifinance bersandi WOMF ini menduduki di peringkat 26 dalam daftar 50 perusahaan dengan pertumbuhan bisnis paling cepat versi Fortune Indonesia, atau 50 Fastest-Growing Companies, pada 2011. Bahkan, posisi ini lebih tinggi dari beberapa perusahaan pembiayaan yang turut ambil bagian dalam daftar tersebut seperti PT Clipan Finance Indonesia, Tbk, PT Mandala Multifinance, Tbk serta PT Adira Dinamika Multifinance, Tbk.

            MEMANG, tingginya NPF perseroan pada kuartal-I 2011 seakan menjadi isyarat bagi para pemegang saham untuk melakukan pembenahan. Pada Mei 2011, struktur kepemimpinan eksekutif di WOM Finance berubah. Djaja Suryanto Sutandar hadir sebagai presiden direktur perseroan yang baru. Dia mengambilalih tampuk kepemimpinan dari Suwandi Wiratno, yang telah menjabat sejak 2007. Tak hanya itu, seorang bankir senior yang juga Direktur Perbankan Konsumer BII, Stephen Liestyo, didapuk menjadi presiden komisaris WOM Finance.
            Namun, apa sebenarnya yang membuat WOM Finance terlampau berani dalam melakukan ekspansi bisnis? Sumber Fortune Indonesia menjelaskan, perseroan kesulitan mencari sosok pengganti Benny Wenas, salah satu pendiri WOM Finance dan sempat menjabat presiden direktur perseroan sekitar 8 tahun sejak 1999.
            Setelah kepergian Benny, para pemegang saham ternyata lebih suka memilih sosok dari luar organisasi WOM Finance untuk menduduki jabatan eksekutif tertinggi. Selain itu, menurut sumber Fortune yang enggan disebut namanya, jajaran eksekutif puncak rupanya jarang “turun gunung” menyambangi kantor-kantor cabang guna memahami kondisi bisnis perseroan di lini terdepan.  “Suksesi di WOM Finance jelas bermasalah. Setelah Benny Wenas, sense of belonging and responsibility yang ada pada jajaran manajemen perusahaan, berkurang drastis,” ujar sumber tersebut.  Untuk soal ini, Benny menolak untuk berkomentar.
            Berdasarkan catatan Grady M. Wijaya, analis PT eTrading Securities, penurunan laba bersih WOM Finance di sepanjang 2011 disebabkan dua hal yang terkait erat: pemberian uang muka yang relatif kecil dan buruknya studi kelayakan konsumen yang dilakukan perseroan.
            Umumnya, perseroan mengenakan bunga yang relatif besar, yakni sekitar 20% untuk motor baru dan 30% untuk motor bekas. Sementara, WOM Finance akan menarik kembali (repossession) motor jika konsumen menunggak cicilan selama tiga bulan. Padahal, harga motor baru  bisa turun di atas 20% di pasar sekunder, dan perseroan pun harus mengeluarkan dana untuk proses penarikannya. “Sistem perusahaan dalam melakukan studi kelayakan konsumen sangat penting untuk menekan kredit macet,” ungkap Grady setelah menemui jajaran manajemen WOM Finance pada November 2011.
            Analis PT ICRA Indonesia, Kreshna D. Armand, menjelaskan, multfinance yang bergerak di segmen sepeda motor bekas harus cermat dalam menilai profil calon konsumen. “Segmen ini memang memiliki profil risiko yang lebih tinggi daripada segmen lainnya,” jelas Armand.
            Bos baru WOM Finance, Djaja S. Sutandar memang mengakui, sebelumnya perseroan suka salah kaprah dalam menjalankan bisnis, dan cenderung menggampangkan masalah. “Dulunya, ada beberapa indikator utama bagi kegiatan operasional multifinance yang tidak pernah digunakan, misalnya, First Installment Default atau FID. Padahal, itu sudah umum digunakan dalam industri pembiayaan,” jelas Djaja, yang sebelumnya menjabat sebagai Executive Vice President BII.
            Masalah lainnya berkutat pada infrastruktur dan sistem informasi teknologi yang dikembangkan perseroan sejak 2009. Tentu, hal ini berurusan langsung dengan administrasi dan pengelolaan akun pelanggan. Simak saja pengalaman Togar Oktavianus, seorang konsumen WOM Finance di Jakarta. Menurut pengakuannya, tak sekalipun dia menunggak pembayaran cicilan. Namun, saat hendak memperpanjang Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Togar harus menunggu hingga 10 hari untuk memperoleh Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dari kantor cabang WOM Finance. “Bagaimana kalau konsumen yang menunggak? Pasti perusahaan mengirimkan surat peringatan dan mengenakan denda. Tapi, bagaimana kalau pihak WOM Finance yang terlambat memenuhi hak konsumen?” tukasnya sambil balik bertanya.
            Menurut Djaja, para pemegang saham menugasi dirinya untuk membenahi kondisi internal perusahaan, tak hanya sistem dan infrastruktur, namun juga kualitas sumber daya manusia. “Kalau ada pegawai yang menimbulkan kerugian sebesar Rp100 juta, padahal dia sudah bekerja sesuai dengan prosedur, saya masih bisa terima. Sebab, itu berarti prosedurnya yang keliru. Tapi, jika ada pegawai yang membuat kerugian Rp50 ribu lantaran tidak menjalankan prosedur, maka dia akan langsung dipecat,” jelasnya dengan tegas.
            Lebih jauh lagi, jebolan California State University, Sacramento, Amerika Serikat itu, ingin sungguh-sungguh mewujudkan Teamwork, Integrity, Growth, Excellency & Efficiency, Relationship Building, disingkat dengan TIGER Values. Itu adalah nilai korporat dan budaya kerja Malayan Banking Berhad (Maybank), bank dan grup keuangan terbesar di Malaysia, yang menguasai saham mayoritas BII.  “Kalau berbicara tentang target tahun 2012, kami tak mau ngoyo. Yang penting, kami bisa bertahan saja. Itu dulu-lah,” kata Djaja, sambil menambahkan, kalau bisa, dia ingin meningkatkan laba dan pendapatan perseroan sebesar 20% dibandingkan pencapaian tahun lalu.
            Fokus utama  bagi Djaja adalah pembenahan kinerja fundamental. Kelak, perseroan juga tak lagi meneruskan praktik uang muka yang relatif rendah. “Untuk wilayah kerja dengan kualitas portofolio pembiayaan yang jelek, kami akan mengenakan uang muka yang lebih tinggi,” cetusnya.
            Sebagai bukti komitmen perseroan dalam membenahi kualitas manajemen risiko, mereka menunjuk Purwadi Indra Martono sebagai direktur manajemen risiko pada Mei 2011. Dia sudah cukup berpengalaman di beberapa multifinance, seperti PT Astra Sedaya Finance, Tbk dan PT.Adira Dinamika Multifinance, Tbk.
            “Mengurusi multifinance yang fokus di segmen sepeda motor itu, ruwet. Sama sekali tidak gampang,” kata Djaja. Lantas, mengapa dia merasa pas untuk membenahi WOM Finance? “Sewaktu di BII, saya sering ditugaskan untuk mengurusi beberapa kantor cabang yang bermasalah. Mungkin, berdasarkan rekam jejak tersebut, saya dianggap pantas mengurusi WOM Finance,” katanya lagi.
            Di benak Djaja, pertumbuhan bisnis WOM Finance harus stabil dan berkelanjutan. Jelas, itu bakal terwujud bila dia terbukti mampu memimpin perseroan untuk berbenah diri sambil menahan laju ekspansi bisnis. (***)


BII mengakuisisi 43% saham WOM dengan nilai sekitar Rp400 miliar pada 2005.

Boks 1.

JUDUL:  RIWAYAT WOM FINANCE
Deck: Perusahaan pembiayaan ini telah menjalani berbagai transisi bisnis.

MARET 1982
Pertama kali berdiri dengan nama PT Jakarta Tokyo Leasing yang fokus pada segmen sepeda motor bermerek Honda.

APRIL 1997
Nama perseroan berganti menjadi PT Wahana Ometraco Multiartha, seiring dengan akuisisi PT Fuji Semeru Leasing.

FEBRUARI 2000
Bertransformasi menjadi PT Wahana Ottomitra Multiartha, dan menjadi bagian dari kelompok usaha Wahanaartha. Perseroan juga ikut mendukung PT Wahana Makmur Sejati, dealer resmi motor Honda di Jakarta dan Tangerang.

2001
Memasuki segmen motor bekas, dan bekerja sama dengan dealer motor Suzuki dan Yamaha.

DESEMBER 2004
Menggelar pencatatan saham perdana (IPO) di bursa efek.



2005
PT Bank Internasional Indonesia, Tbk beserta International Finance Corporation (IFC) dan DBS Nominees Pte. Ltd. membeli 67% saham perseroan.

2007
Berhasil menjadi multifinance terbesar ketiga di Indonesia untuk segmen sepeda motor dengan aset sebesar Rp4,8 triliun.

2011
Perombakan jajaran komisaris dan direksi: Direktur Perbankan Konsumer PT Bank Internasional Indonesia, Tbk Stephen Liestyo menjadi Presiden Komisaris perseroan. Sedangkan, Djaja S. Sutandar menjabat sebagai presiden direktur.

Tidak ada komentar: