Feature – Wom Finance
JALUR LAMBAT BUAT WOM FINANCE
SETELAH MENGEJAR PERTUMBUHAN BISNIS YANG CEPAT, KINERJA PERUSAHAAN MULTIFINANCE INI TERGELINCIR TURUN. BAGAIMANA MEREKA MAMPU BANGKIT KEMBALI?
Oleh Patrick S. Hutapea & Anjar Leksana
EKSPANSI usaha memang menuntut
kecermatan. Jika lalai, akibatnya bisa fatal. Laju roda bisnis pun bakal
tersendat. Tampaknya, uraian itu dapat menerangkan mengapa kinerja PT
Wahana Ottomitra Multiartha, Tbk atau yang biasa disebut WOM Finance
kurang kinclong. Padahal, perusahaan pembiayaan (multifinance)
yang mayoritas sahamnya dikuasai PT Bank Internasional Indonesia, Tbk
(BII) itu, sempat menjadi salah satu perusahaan pembiayaan sepeda motor
terbesar di Indonesia.
Ya, WOM Finance terpaksa menutup tahun 2011 dengan
torehan laba bersih yang hanya berkisar Rp5,3 miliar. Nilai tersebut
merosot 96% dibandingkan tahun sebelumnya. Sebetulnya, total pendapatan
perseroan masih tercatat sebesar Rp1,65 triliun, atau tumbuh sekitar 11%
dari pencapaian 2010.
Namun, melonjaknya beban perusahaan hingga Rp1,63
triliun—naik 26% dari tahun 2010—ternyata benar-benar menggerus
kemampuan WOM Finance dalam mencetak untung. Sebab, multifinance yang berdiri sejak 1982 ini ingin menurunkan tingkat non-performing financing/NPF (pembiayaan macet) mereka.
Lihat saja, NPF perseroan turun dari 3,5% di kuartal-I
2011 menjadi 3% pada akhir Desember 2011. Tentu, itu berdampak pada
membengkaknya pos cadangan kerugian akibat penurunan nilai aset
keuangan. Di sepanjang 2011, nilainya mencapai Rp170 miliar, atau
melesat 85% lebih dari tahun sebelumnya.
Sebenarnya, kinerja perseroan pada 2010 silam masih
lumayan bagus. Saat itu, WOM Finance masih sanggup meraup laba bersih
senilai Rp138 miliar, atau meningkat 127% dari nilai laba bersih pada
2009. Pendapatan perseroan juga mendekati Rp1,5 triliun, naik 7,5%
dibandingkan tahun sebelumnya. “Peningkatan tersebut terutama disebabkan
oleh peningkatan jumlah unit pembiayaan sepeda motor dan menurunnya
jumlah biaya cadangan atas piutang ragu-ragu,” papar Presiden Direktur
WOM Finance sewaktu itu, Suwandi Wiratno, dalam laporan tahunan 2010.
Maklum, kala itu perseroan sukses membiayai sekitar
620.000 unit sepeda motor, setara dengan Rp7,3 triliun. Nilai tersebut
meningkat sekitar 73% dari 2009. Tentu, prestasi tersebut mendapat
dukungan dari laju penjualan sepeda motor nasional yang menembus 7 juta
unit, tumbuh 26% dari volume penjualan tahun 2009.
Kencangnya laju penjualan motor, menurut Suwandi, ternyata membuat persaingan bisnis antar-multifinance
berjalan dengan sangat ketat. WOM Finance juga tak ingin kehilangan
momentum. “Untuk menghadapi persaingan tersebut, WOM Finance terus
meningkatkan kinerja dan perbaikan dalam proses kredit, penambahan
jumlah kantor cabang, dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia,”
ungkap eksekutif yang sebelumnya menjabat sebagai direktur utama PT BII
Finance Center, anak usaha BII yang bergerak di segmen pembiayaan mobil
baru.
Selain gencar menyalurkan pembiayaan pada 2010, nafsu
ekspansi bisnis WOM Finance bisa terlihat dari berbagai taktiknya dalam
menggaet konsumen. Misalnya, mereka menjalankan penjualan langsung (direct sale) dengan menawarkan program kredit sepeda motor kepada konsumen terpilih yang ada dalam database perusahaan. Tawarannya cukup menggiurkan: diskon angsuran yang lebih cepat.
Sebagai upaya dalam menawarkan kemudahan bagi pelanggan,
WOM Finance bekerja sama dengan berbagai bank besar—tentunya, selain
BII—dan PT POS Indonesia untuk menyediakan jaringan pembayaran angsuran.
Lebih lagi, manajemen juga melengkapi petugas penagihan dengan mesin Electronic Data Capture (EDC).
WOM Finance pun rajin membuka kantor cabang. Hingga kini,
kantor cabang mereka berkisar 220 unit, tersebar dari Medan di Sumatera
Utara sampai Pare-Pare di Sulawesi Selatan. Sebagai perbandingan, pada
tahun 2007 mereka baru memilik 102 kantor cabang. Hasil dari
pembengkakan cabang adalah jumlah konsumen aktif perusahaan bisa
mencapai 1,1 juta orang.
Itu sebabnya, multifinance bersandi WOMF ini menduduki di peringkat 26 dalam daftar 50 perusahaan dengan pertumbuhan bisnis paling cepat versi Fortune Indonesia, atau 50 Fastest-Growing Companies,
pada 2011. Bahkan, posisi ini lebih tinggi dari beberapa perusahaan
pembiayaan yang turut ambil bagian dalam daftar tersebut seperti PT
Clipan Finance Indonesia, Tbk, PT Mandala Multifinance, Tbk serta PT
Adira Dinamika Multifinance, Tbk.
MEMANG, tingginya NPF perseroan pada
kuartal-I 2011 seakan menjadi isyarat bagi para pemegang saham untuk
melakukan pembenahan. Pada Mei 2011, struktur kepemimpinan eksekutif di
WOM Finance berubah. Djaja Suryanto Sutandar hadir sebagai presiden
direktur perseroan yang baru. Dia mengambilalih tampuk kepemimpinan dari
Suwandi Wiratno, yang telah menjabat sejak 2007. Tak hanya itu, seorang
bankir senior yang juga Direktur Perbankan Konsumer BII, Stephen
Liestyo, didapuk menjadi presiden komisaris WOM Finance.
Namun, apa sebenarnya yang membuat WOM Finance terlampau berani dalam melakukan ekspansi bisnis? Sumber Fortune Indonesia
menjelaskan, perseroan kesulitan mencari sosok pengganti Benny Wenas,
salah satu pendiri WOM Finance dan sempat menjabat presiden direktur
perseroan sekitar 8 tahun sejak 1999.
Setelah kepergian Benny, para pemegang saham ternyata
lebih suka memilih sosok dari luar organisasi WOM Finance untuk
menduduki jabatan eksekutif tertinggi. Selain itu, menurut sumber
Fortune yang enggan disebut namanya, jajaran eksekutif puncak rupanya
jarang “turun gunung” menyambangi kantor-kantor cabang guna memahami
kondisi bisnis perseroan di lini terdepan. “Suksesi di WOM Finance
jelas bermasalah. Setelah Benny Wenas, sense of belonging and responsibility
yang ada pada jajaran manajemen perusahaan, berkurang drastis,” ujar
sumber tersebut. Untuk soal ini, Benny menolak untuk berkomentar.
Berdasarkan catatan Grady M. Wijaya, analis PT eTrading
Securities, penurunan laba bersih WOM Finance di sepanjang 2011
disebabkan dua hal yang terkait erat: pemberian uang muka yang relatif
kecil dan buruknya studi kelayakan konsumen yang dilakukan perseroan.
Umumnya, perseroan mengenakan bunga yang relatif besar,
yakni sekitar 20% untuk motor baru dan 30% untuk motor bekas. Sementara,
WOM Finance akan menarik kembali (repossession) motor jika
konsumen menunggak cicilan selama tiga bulan. Padahal, harga motor baru
bisa turun di atas 20% di pasar sekunder, dan perseroan pun harus
mengeluarkan dana untuk proses penarikannya. “Sistem perusahaan dalam
melakukan studi kelayakan konsumen sangat penting untuk menekan kredit
macet,” ungkap Grady setelah menemui jajaran manajemen WOM Finance pada
November 2011.
Analis PT ICRA Indonesia, Kreshna D. Armand, menjelaskan, multfinance
yang bergerak di segmen sepeda motor bekas harus cermat dalam menilai
profil calon konsumen. “Segmen ini memang memiliki profil risiko yang
lebih tinggi daripada segmen lainnya,” jelas Armand.
Bos baru WOM Finance, Djaja S. Sutandar memang mengakui,
sebelumnya perseroan suka salah kaprah dalam menjalankan bisnis, dan
cenderung menggampangkan masalah. “Dulunya, ada beberapa indikator utama
bagi kegiatan operasional multifinance yang tidak pernah
digunakan, misalnya, First Installment Default atau FID. Padahal, itu
sudah umum digunakan dalam industri pembiayaan,” jelas Djaja, yang
sebelumnya menjabat sebagai Executive Vice President BII.
Masalah lainnya berkutat pada infrastruktur dan sistem
informasi teknologi yang dikembangkan perseroan sejak 2009. Tentu, hal
ini berurusan langsung dengan administrasi dan pengelolaan akun
pelanggan. Simak saja pengalaman Togar Oktavianus, seorang konsumen WOM
Finance di Jakarta. Menurut pengakuannya, tak sekalipun dia menunggak
pembayaran cicilan. Namun, saat hendak memperpanjang Surat Tanda Nomor
Kendaraan (STNK), Togar harus menunggu hingga 10 hari untuk memperoleh
Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dari kantor cabang WOM Finance.
“Bagaimana kalau konsumen yang menunggak? Pasti perusahaan mengirimkan
surat peringatan dan mengenakan denda. Tapi, bagaimana kalau pihak WOM
Finance yang terlambat memenuhi hak konsumen?” tukasnya sambil balik
bertanya.
Menurut Djaja, para pemegang saham menugasi dirinya untuk
membenahi kondisi internal perusahaan, tak hanya sistem dan
infrastruktur, namun juga kualitas sumber daya manusia. “Kalau ada
pegawai yang menimbulkan kerugian sebesar Rp100 juta, padahal dia sudah
bekerja sesuai dengan prosedur, saya masih bisa terima. Sebab, itu
berarti prosedurnya yang keliru. Tapi, jika ada pegawai yang membuat
kerugian Rp50 ribu lantaran tidak menjalankan prosedur, maka dia akan
langsung dipecat,” jelasnya dengan tegas.
Lebih jauh lagi, jebolan California State University,
Sacramento, Amerika Serikat itu, ingin sungguh-sungguh mewujudkan Teamwork, Integrity, Growth, Excellency & Efficiency, Relationship Building,
disingkat dengan TIGER Values. Itu adalah nilai korporat dan budaya
kerja Malayan Banking Berhad (Maybank), bank dan grup keuangan terbesar
di Malaysia, yang menguasai saham mayoritas BII. “Kalau berbicara
tentang target tahun 2012, kami tak mau ngoyo. Yang penting, kami bisa bertahan saja. Itu dulu-lah,”
kata Djaja, sambil menambahkan, kalau bisa, dia ingin meningkatkan laba
dan pendapatan perseroan sebesar 20% dibandingkan pencapaian tahun
lalu.
Fokus utama bagi Djaja adalah pembenahan kinerja
fundamental. Kelak, perseroan juga tak lagi meneruskan praktik uang muka
yang relatif rendah. “Untuk wilayah kerja dengan kualitas portofolio
pembiayaan yang jelek, kami akan mengenakan uang muka yang lebih
tinggi,” cetusnya.
Sebagai bukti komitmen perseroan dalam
membenahi kualitas manajemen risiko, mereka menunjuk Purwadi Indra
Martono sebagai direktur manajemen risiko pada Mei 2011. Dia sudah cukup
berpengalaman di beberapa multifinance, seperti PT Astra Sedaya Finance, Tbk dan PT.Adira Dinamika Multifinance, Tbk.
“Mengurusi multifinance yang fokus di segmen
sepeda motor itu, ruwet. Sama sekali tidak gampang,” kata Djaja. Lantas,
mengapa dia merasa pas untuk membenahi WOM Finance? “Sewaktu di BII,
saya sering ditugaskan untuk mengurusi beberapa kantor cabang yang
bermasalah. Mungkin, berdasarkan rekam jejak tersebut, saya dianggap
pantas mengurusi WOM Finance,” katanya lagi.
Di benak Djaja, pertumbuhan bisnis WOM Finance harus
stabil dan berkelanjutan. Jelas, itu bakal terwujud bila dia terbukti
mampu memimpin perseroan untuk berbenah diri sambil menahan laju
ekspansi bisnis. (***)
BII mengakuisisi 43% saham WOM dengan nilai sekitar Rp400 miliar pada 2005.
Boks 1.
JUDUL: RIWAYAT WOM FINANCE
Deck: Perusahaan pembiayaan ini telah menjalani berbagai transisi bisnis.
MARET 1982
Pertama kali berdiri dengan nama PT Jakarta Tokyo Leasing yang fokus pada segmen sepeda motor bermerek Honda.
APRIL 1997
Nama perseroan berganti menjadi PT Wahana Ometraco Multiartha, seiring dengan akuisisi PT Fuji Semeru Leasing.
FEBRUARI 2000
Bertransformasi menjadi PT Wahana Ottomitra Multiartha, dan menjadi
bagian dari kelompok usaha Wahanaartha. Perseroan juga ikut mendukung PT
Wahana Makmur Sejati, dealer resmi motor Honda di Jakarta dan Tangerang.
2001
Memasuki segmen motor bekas, dan bekerja sama dengan dealer motor Suzuki dan Yamaha.
DESEMBER 2004
Menggelar pencatatan saham perdana (IPO) di bursa efek.
2005
PT Bank Internasional Indonesia, Tbk beserta International Finance
Corporation (IFC) dan DBS Nominees Pte. Ltd. membeli 67% saham
perseroan.
2007
Berhasil menjadi multifinance terbesar ketiga di Indonesia untuk segmen sepeda motor dengan aset sebesar Rp4,8 triliun.
2011
Perombakan jajaran komisaris dan direksi: Direktur Perbankan Konsumer
PT Bank Internasional Indonesia, Tbk Stephen Liestyo menjadi Presiden
Komisaris perseroan. Sedangkan, Djaja S. Sutandar menjabat sebagai
presiden direktur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar