PROYEK KEPOMPONG. BEGITULAH PARWATI SURJAUDAJA MENJULUKI SINERGI ANTARA BANK YANG DIBANGUN SANG AYAH DENGAN OCBC BANK, SALAH SATU BANK TERBESAR DI SINGAPURA DAN ASIA TENGGARA. DIA BERTEKAD MEMBAWA BANK OCBC NISP KE JAJARAN LIMA BESAR BANK UMUM SWASTA NASIONAL.
Oleh Anjar Leksana
TRANSFORMASI BISNIS merupakan bahan perbincangan yang mengundang minat dan semangat Parwati Surjaudaja. Tanpa berbelit-belit, presiden direktur PT Bank OCBC NISP, Tbk itu sanggup bertutur soal pentingnya melakukan perubahan demi kelangsungan bisnis. Jelas, dia tak sekadar berbasa-basi. Sebab, wanita kelahiran 1968 ini sudah mengawal transisi bank yang dirintis keluarganya sejak 71 tahun silam.
Semua terjadi pada 2008. Saat itu, Parwati mengambil-alih estafet kepemimpinan bisnis dari sang kakak, Pramukti Surjaudaja, yang sudah memimpin perusahaan sekitar 11 tahun sejak 1997. Lebih lagi, perseroan yang dulu bergelar Bank NISP—didirikan dengan nama NV Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank di Bandung—harus berganti nama menjadi Bank OCBC NISP.
Aksi itu mengukuhkan posisi Oversea-Chinese Banking Corporation (OCBC) Bank, bank tertua dan salah satu grup keuangan terbesar di Singapura, sebagai pemegang saham mayoritas perseroan yang dirintis ayah Parwati, Karmaka Surjaudaja. Logo perusahaan yang sebelumnya didominasi warna biru, juga berubah. Kini, logo perseroan berkelir merah.
Tak hanya itu. Tatanan organisasi, proses bisnis, dan segmentasi nasabah ikut bertransformasi. Dulu, bank yang didukung 5.500 lebih karyawan ini, identik dengan segmen nasabah Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Namun, perseroan mulai giat menggarap bidang usaha perbankan konsumer (consumer banking) dan nasabah ritel, sejak OCBC Bank menjadi pemegang saham pada 2004, untuk sekadar menyebut sebuah contoh perubahan. Targetnya: membidik posisi lima besar bank umum swasta di Tanah Air.
Menurut Parwati, perubahan itu sangat emosional. Dia dan sang kakak harus bolak-balik meyakinkan orang tuanya agar mau menerima pinangan OCBC Bank sebagai mitra strategis. “Kami (pihak keluarga, Red.) mengambil keputusan itu dengan sadar. Ini langkah yang harus diambil supaya kami bisa bertahan dalam bisnis. It’s a matter of survival,” kenangnya.
Dia menyebut proses tersebut sebagai “proyek kepompong”. Perubahan itu, ujar Parwati, mungkin terasa sulit dan tidak enak. “Tapi, sesudahnya, kami menjadi ‘kupu-kupu’ dan bisa berkembang lebih jauh lagi,” kata lulusan San Fransisco State University, Amerika Serikat, yang menjabat berbagai posisi di dewan direksi Bank OCBC NISP sekitar 18 tahun, sebelum menjadi presiden direktur.
Ternyata, Parwati telah belajar banyak dari krisis moneter 1997/1998 yang menghantam industri perbankan nasional nyaris ke titik nadir. Maklum, banyak papan atas yang kala itu kelimpungan hingga harus menerima suntikan modal atau rekapitalisasi dari pemerintah. Sebagian besar terpaksa dimerger, dan bahkan dilikuidasi. “Mau sebesar apa pun skala usahanya, bisnis perbankan sangat rentan terhadap risiko sistemik. Jadi, mau tak mau, kami harus punya mitra strategis yang mampu mengangkat daya saing dan kapasitas bisnis perusahaan,” ujarnya.
Krisis finansial global pada 2008 silam, menurutnya lagi, kembali mengukuhkan keyakinannya itu. “Siapa yang menyangka grup perbankan kelas dunia seperti Citigroup juga bisa terseret krisis?” kata Parwati.
Meski begitu, kehadiran mitra strategis harus dibayar dengan kerelaan Parwati dan keluarga besar yang kehilangan posisi sebagai pemegang saham pengendali. Parwati mengaku, dia telah merasa siap bila suatu saat dirinya tidak lagi berkarier di perseroan. Soalnya, pemegang saham mayoritas bukan lagi keluarga Surjaudaja, melainkan grup finansial dan perbankan asing yang mungkin saja sewaktu-waktu ingin menempatkan wakilnya di jajaran eksekutif tertinggi. “Semuanya kembali lagi kepada perubahan kerangka berpikir. Iya sih, keluarga masih bisa menjadi pemegang saham mayoritas. Tapi, produk dan layanan apa yang bisa kami tawarkan kepada nasabah? Apakah nasabah masih bisa merasa diuntungkan? Apakah bisnis kami bisa berkembang secara berkesinambungan?” tukasnya.
Ya, bagi Parwati, sebelum menjalankan transformasi bisnis, cara pandang yang dimiliki pun harus berubah (paradigm shift). Memang betul, kini perseroan memiliki portofolio produk dan layanan yang lebih komplit daripada sebelumnya. Pada segmen perbankan konsumer, misalnya, produk kredit Bank OCBC NISP sudah terbentang dari kredit perumahan, kredit kendaraan bermotor, hingga kredit multiguna.
Divisi Wealth Management, yang mengelola aset dan kekayaan para nasabah kelas atas, sanggup menawarkan sejumlah produk proteksi sekaligus investasi. Bank OCBC NISP juga banyak bermitra dengan perusahaan asuransi, seperti Great Eastern Indonesia, anak usaha Great Eastern Holdings, grup asuransi terbesar di Singapura dan Malaysia yang juga dimiliki OCBC Bank. Belakangan, mereka melengkapi jajaran produk dan layanan khusus untuk segmen perbankan mikro, UKM, dan korporat. Layanan pengelolaan transaksi (remittance) dan pengelolaan arus kas (cash management) berstandar global bisa didapatkan di Bank OCBC NISP.
Tahun lalu, Bank OCBC NISP membukukan laba sebelum pajak sekitar Rp 1 triliun, atau naik sebesar 78% dibandingkan periode yang sama pada 2010. Lonjakan laba bersih itu mendapat dorongan dari kenaikan pendapatan bunga bersih sebesar 13% dan peningkatan pendapatan non-bunga sebesar 16% dari tahun sebelumnya.
PERKENALAN KELUARGA Surjaudaja dengan OCBC Bank sebenarnya bermula pada 1997. Kala itu, perseroan yang masih bernama Bank NISP menjalin kerja sama strategis dengan mendirikan bank patungan (joint-venture) bernama Bank OCBC Indonesia. Namun, menurut Parwati, pihak keluarga belum mengira OCBC Bank berniat menjadi mitra strategis seperti sekarang ini.
Lantas, mengapa Parwati berani meyakinkan keluarga besar untuk menerima kehadiran OCBC Bank sebagai mitra strategis? Tak lain, sebab grup keuangan yang dibentuk pada 1932 ini, memiliki visi dan prinsip bisnis yang serupa dengan keluarga Surjaudaja. “Mereka relatif konservatif dan mengutamakan pertumbuhan bisnis perbankan yang berkesinambungan. Intinya, OCBC Bank memiliki falsafah bisnis yang sepaham dengan kami sebagai pihak yang merintis perusahaan,” jelas Parwati.
Betul, strategi konservatif menjadi andalan Bank OCBC NISP selama ini. Itulah yang menyebabkan mereka mampu bertahan dari beberapa krisis ekonomi yang sempat melanda Indonesia. Tatkala banyak nasabah berbondong-bondong menarik dananya dari berbagai bank nasional saat krisis moneter 1997/1998, kantor Bank OCBC NISP malah disesaki dengan para nasabah yang justru hendak membuka simpanan.
Namun, Parwati kini enggan meneruskan strategi tersebut. Buktinya, pendekatan perbankan konservatif sudah ditanggalkan sebagai bagian dari nilai korporat perseroan. Pada 2008, Bank OCBC NISP resmi memasukkan prinsip istilah “solid” dan “dinamis” dalam corporate values-nya. “Kalau dulu, (semangat pembaruan dan strategi agresif, Red) pokoknya enggak! Tapi, sekarang tidak bisa lagi seperti itu. Kini, fokusnya memitigasi dan mengelola risiko bisnis. Dalam berbisnis, jika risikonya ‘nol’, keuntungannya juga ‘nol’?,” tuturnya.
Niat ekspansi bisnis bisa terlihat dari rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) yang dibukukan Bank OCBC NISP tahun lalu. Tingkat LDR perseroan sudah mencapai 87% per Desember 2011. Artinya, torehan itu berada di atas rata-rata LDR industri perbankan nasional yang berkisar 81%.
Tahun 2011 juga menjadi momen untuk melaksanakan penggabungan usaha dengan Bank OCBC Indonesia, bank joint-venture yang didirikan pada 1997. Aksi korporasi itu kembali menjadi ujian bagi kepemimpinan Parwati. Untungnya, aksi merger itu tuntas dan berjalan lancar. “Aset Bank OCBC NISP pasca merger menjadi Rp50,1 triliun dengan total ekuitas sebesar Rp5,8 triliun,” tuturnya. Padahal, sebelumnya total aset perseroan tercatat sekitar Rp47 triliun. Menurut Parwati lagi, dirinya tak pernah menutup diri dari strategi pertumbuhan anorganik. Yang paling ideal, kata Parwati, mengakuisisi perusahaan yang masih bergerak di bidang finansial. “Namun, jika valuasi suatu bisnis sangat tinggi atau terlalu mahal, maka hitung-hitungannya bisa tidak masuk,” katanya.
Dia mengaku, kunci sukses dalam mengawal metamorfosis perseroan adalah kemampuan berkomunikasi. Parwati sempat bekerja di SGV Utomo, kantor akuntan publik dan konsultan manajemen yang sewaktu itu masih menjadi bagian dari Arthur Andersen LLP. Di sana, dia terinspirasi dengan slogan Arthur Andersen: Think straight talk straight, berpikir dan berbicara dengan sungguh-sungguh.
Salah satu Ketua Divisi Komunikasi Perusahaan Bank OCBC NISP, Debby Mustika Maria, melihat sosok Parwati sebagai pemimpin yang gesit dan bersemangat. “Dia selalu bisa bersikap tegas sekaligus bertindak humanis,” kata Debby, yang sudah bekerja tujuh tahun di Bank OCBC NISP. Selain itu, Debby menilai, sosok bosnya itu merupakan motivator yang baik bagi para karyawannya.
Rekan kerja Parwati semasa di SGV Utomo, Tara Hidayat, punya catatan khusus tentang sosok pemimpin perempuan kelahiran Bandung itu. Di mata Tara, Parwati merupakan sosok seorang teman yang tak suka berbasa-basi, bicaranya langsung dan tegas. “Dia bekerja dengan cekatan dan berupaya memberikan solusi terhadap masalah yang timbul, serta pandai memilih pendekatan yang pas ketika berinteraksi dengan banyak orang,” kenang Tara yang kini bekerja di sebuah instansi pemerintah.
Pengamat industri perbankan, Deni Daruri, menilai sosok Parwati sudah tepat memimpin beberapa perubahan yang dilalui Bank OCBC NISP. Meski begitu, sinergi Bank NISP dan OCBC Bank, menurut Deni, harus bisa menghasilkan penciptaan nilai tambah yang lebih berarti, daripada sekadar dukungan modal dan pendanaan serta program pelatihan kepegawaian. “Kalau proses alih teknologi dan keahlian perbankan dari OCBC Bank bisa meningkatkan daya saing dan kapasitas bisnis Bank OCBC NISP lebih jauh lagi, target lima besar bank swasta bisa terwujud,” kata Deni yang juga direktur Central for Banking Crisis itu.
Ya, posisi lima besar memang menjadi incaran Parwati bersama Bank OCBC NISP. Jadi, tahapan selanjutnya dari metamorfosis bisnis perseroan adalah menjadi bank dengan aset terbesar yang disegani kalangan perbankan nasional, dan Parwati tampak siap dengan tugas berikutnya. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar